Kami katakan kepada Nabi, “Itu jenazah orang Yahudi.” “Tidakkah ia makhluk juga?”, Nabi menjawab
Pada zaman penjajahan dulu masyarakat Indonesia mengalami diskriminasi dan perbedaan perlakuan yang begitu nyata dalam berbagai sistem kehidupan. Pada bidang pendidikan, hanya warga Belanda yang berhak mengenyam pendidikan di sekolah. Kalaupun ada warga pribumi yang mendapat kesempatan bersekolah mereka tentunya harus berasal dari kalangan ningrat. Diskriminasi juga terjadi di kereta api, orang-orang “Londo” dapat mengakses kereta kelas satu dan diikuti warga tionghoa pada kelas bumi dan pribumi berada di gerbong kelas ketiga. Selain kedua contoh tersebut masih banyak contoh diskriminasi yang terjadi selama masa penjajahan tersebut. Walaupun sudah terjadi berabad-abad yang lalu dan Indonesia akhirnya merdeka pada tahun 1945, efek dari tindakan diskriminatif tersebut masih dapat dirasakan hingga hari ini.
Tindakan diskriminatif tersebut membentuk pola berpikir sebagian masyarakat pribumi untuk menghormati seseorang karena sesuatu yang melekat pada pada orang tersebut. Hal itu dikarenakan sejak dahulu orang-orang yang mendapatkan akses terhadap sumber-sumber mobilitas vertikal adalah mereka yang kaya, keturunan asing, atau ningrat. Jumlahnya orang-orang tersebut sangat sedikit sehingga mereka menjadi kaum elit yang begitu dihormati. Penghormatan yang diberikan kepada mereka oleh khalayak didasarkan kepada keningratan dan ketinggian tingkat pendidikan mereka. Hal ini sesungguhnya wajar saja asalkan tidak berlebihan. Namun sejatinya kita menghormati orang lain karena sesuatu yang melekat pada diri orang tersebut melainkan karena orang tersebut adalah manusia seperti halnya kita sebagai sesama makhluk Allah.
Menghargai manusia karena sesuatu yang melekat pada diri manusia tersebut boleh jadi adalah pola pikir yang umumnya berada pada benak masyarakat Indonesia hari ini. Pola pikir yang demikian terus tertanam, diwariskan dan menjadi kepercayaan (belief) sehingga pada akhirnya berdampak pada perilaku sehari-hari. Hal itu mungkin yang menjadi alasan atas terjadinya berbagai kasus korupsi dan kekerasan dari aparat pemerintah. Penguasa yang memiliki kekuasaan merasa harus dilayani dan dihormati oleh yang lain. Sehingga kepemimpinan yang dibangun dan yang berjalan bukanlah kepemimpinan yang melayani melainkan kepemimpinan yang begitu melangit dan jauh dari rakyatnya. Dalam konteks yang lebih panjang, pikiran seperti ini tidak boleh tertanam dalam benak anak-anak dan pemuda karena mereka yang akan membuat keputusan-keputusan atas berjalannya peradaban di masa yang akan datang.
Sebagai seorang manusia terlebih lagi sebagai seorang Muslim seharusnya kita menghormati manusia bukanlah karena sesuatu yang melekat pada dirinya seperti pakaian, gelar, kepangkatan, atau kepandaian melainkan karena mereka manusia, makhluk Allah. Rasulullah SAW memberi teladan seperti diriwayatkan dari sahabat Jabir bin Abdullah, “Suatu jenazah lewat, dan Nabi berdiri menghormati. Kami katakan kepadanya, ‘Itu jenazah orang Yahudi.’ Ia mengatakan: ‘Jika kamu lihat jenazah, kamu harus berdiri. Tidakkah ia mahluk juga?’” Dari hadist tersebut kita dapat melihat bahwa kita memang sepatutnya kita tidak menghormati seseorang karena suatu yang melekat pada dirinya, melainkan karena kesamaan diri sebagai makhluk Allah.
Ajaran-ajaran Islam mendorong saling kenal dan komunikasi di antara orang-orang, juga pembauran dalam masyarakat. Kemudian dengan pandangan yang tidak merendahkan atau terlalu meninggikan orang lain kita dapat saling membaur dan menghargai. Tentang hal ini Allah berfirman :
“Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal.” (QS Al Hujurat: 13). Berangkat dari ayat tersebut, penting bagi pemuda sebagai pemimpin masa depan untuk mengenyampingkan pandangan-pandangan miring yang tidak berdasar dan menghormati siapapun karena mereka manusia ciptaan Allah. Hal ini sangat penting dalam membangun titk temu dan kebersamaan karena setiap perilaku kita terbentuk dari pola pikir yang kita yakini. Jika hal ini dapat terwujud maka mimpi kita melihat masa depan dunia yang damai bukanlah lagi menjadi sebuah mimpi yang jauh. Wallahu alam
ini jawaban yang selama ini gue cari bang.. thanks