Tentang Pelesiran (Sebuah Autokritik)


Beberapa hari belakangan ini media di seluruh tanah air disibukkan dengan berita pelesiran anggota dewan ke berbagai negara di seluruh dunia. Terakhir, tersiar kabar bahwa Badan Kehormatan DPR yang notabene sepatutnya menjadi teladan melakukan studi banding ke Yunani untuk mempelajari etika anggota dewan di sana. Hal ini membuat aku merasa prihatin terlebih lagi kepergian mereka hanya sekedar belajar etika, suatu hal yang semestinya melimpah di negara ketimuran seperti Indonesia ini. Media Indonesia hari ini (25 Oktober 2010)menyatakan bahwa anggaran anggota Dewan untuk studi banding dalam selama tahun 2010 ini sebesar 170 milyar sedangkan anggaran dana Jaminan Kesehatan Masyarakat hanya sebesar 4.6 milyar saja. Perbandingan itu sungguh membuat diriku malu sendiri.

Jika menilik lebih dalam persoalan ini, sebenarnya akar masalah ini berpangkal pada peribahasa besar pasak daripada tiang. Saya rasa masyarakat pun mengerti bahwa proses belajar memang ada kalanya perlu belajar pada yang lebih ahli ataupun berpengalaman dalam hal ini caranya adalah studi banding ke luar negeri. Namun, ibarat peribahasa tadi selama ini DPR tak kunjung menunjukkan prestasi yang membanggakan. Sebagai contoh dari sekitar 70 target RUU yang direncanakan tahun ini hanya sebanyak 45 RUU yang selesai dibahas. Padahal pada 27 Oktober mendatang DPR akan kembali memasuki masa reses. Kita juga disuguhi fakta bahwa selama ini banyak anggota dewan yang mangkir dari rapat dengan berbagai macam alasan. Anggota dewan yang hadir pun tak sedikit yang meneruskan tidurnya di ruang sidang. Hal inilah yang menjadi keprihatinan masyarakat. Di tengah kesulitan masyarakat dewasa ini, para wakil rakyat tersebut tak kunjung memberikan imbal balik kepada rakyat dengan prestasi kinerjanya malahan mereka berpelesir ria ke berbagai negara dengan misi yang tidak substantif.

Autokritik

Peribahasa lama menyatakan semut di seberang pulau tampak, tapi gajah di pelupuk mata tak tampak. Berangkat dari pepatah tersebut, tulisan ini lebih ditujukan untuk menjadi autokritik bagi kita para pembaca. Serupa tapi tak sama dengan pelesiran para anggota dewan, sesungguhnya kita sebagai mahasiswa juga kerap kali melakukan hal yang serupa. Tengok saja aktivitas mahasiswa hari-hari ini yang semakin sering mondar mandir ke luar negeri dengan berbagai jenis aktivitas mulai dari konferensi, pertukaran pelajar dengan transfer kredit, summer course dan beberapa program lainnya.

Kegiatan kemahasiswaan tersebut sungguh amat positif dan bermanfaat apalagi jika kita bandingkan dengan pemuda lainnya yang saat ini justru menghabiskan waktunya untuk hura-hura atau malah menggunakan uangnya untuk membeli narkoba atau berbagai kegiatan lainnya yang tidak produktif. Namun seperti halnya pelesiran anggota dewan tersebut, mari kita bertanya pada diri kita sendiri. Apakah kepergian kita tersebut telah memberikan manfaat bagi orang lain di sekitar kita atau jangan-jangan kepergian kita memang hanya pelesiran. Jika kepergian kita didanai orang lain atau bahkan negara ini sudahkah kita memberi imbal balik kepadanya atau justru dana itu telah berlalu habis tanpa makna yang berarti. Karena seperti halnya kita menggugat anggota dewan yang tak kunjung produktif, mari kita bertanya sudahkah kepergian kita keluar negeri itu sekali lagi telah memberi manfaat bagi sesama.

Di akhir tulisan ini, saya jadi teringat dengan Bang Tolhas Damanik. Beliau adalah seorang tuna netra yang saya kenal di Ohio University. Ia mampu berkuliah di sana setelah mendapat beasiswa dari Ford Foundation. Di akhir masa studi kami dalam program IELSP Bang Tolhas bercerita bahwa pada awalnya ia tidak ingin berangkat ke Amerika karena di dalam negeri saja sudah cukup dan dengan berada di Indonesia ia dapat membela kepentingan rekan-rekannya yang juga berkebutuhan yang sama. Namun, rekan-rekannya akhirnya meyakinkan Bang Tolhas untuk berangkat. Mereka berpesan bahwa kepergian bahwa kepergian Bang Tolhas ke Ohio University juga demi kepentingan mereka. Di akhir ceritanya Bang Tolhas berkata,”saya selalu bertanya apakah uang sekian milyar yang ada pada tubuh saya karena beasiswa ini sudah saya bayar dengan manfaat yang saya berikan kepada orang lain?” Pertanyaan itu begitu terkenang di kepalaku karena boleh jadi aku belum memberi sesuatu yang berarti untuk umat ini.

Tan Malaka berangkat ke Belanda melalui beasiswa dari gurunya. Ia membayarnya dengan buku-buku dan pemikiran yang cemerlang untuk membidani lahirnya negeri ini. Hatta bersekolah ke Rotterdam dengan menabung dan sumbangan para kerabat. Ia membayarnya dengan Proklamasi ibu pertiwi. Lalu apa yang sudah kita bayar untuk negeri ini?

4 thoughts on “Tentang Pelesiran (Sebuah Autokritik)

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s