How they treat the disabled people


Sepanjang yang saya saksikan di Jakarta selama 20 tahun,  menjadi orang yang cacat sungguh menutup banyak ruang dan peluang yang semestinya kita punya. Secara sosial banyak di antara mereka yang hidup tersisih dan jauh dari perhatian orang di sekitarnya. Beruntung masih ada beberapa manusia yang peduli dan terketuk hatinya untuk memberikan mereka ruang untuk hidup di sisinya. Secara ekonomi, terlihat secara nyata bahwa mereka hidup di bawah standar yang layak. Sehingga dapat kita katakan bahwa mereka adalah kaum marginal yang tidak hidup dalam arus utama kehidupan.

Mengapa hal ini terjadi?

Pertanyaan ini mungkin berawal dari mindset kita. Sudut pandang kita lebih banyak memberi ruang bagi disabilitas atau keterbatasan yang mereka miliki, bukan peluang atau kemampuan apa yang masih bisa mereka kerjakan. Sehingga kebijakan yang dibuat terkesan diskriminatif dan sangat memarginalkan mereka yang berkebutuhan khusus seperti ini. Terlebih lagi masyarakat juga menerima logika seperti ini sehingga belum ada upaya perlawanan atas kondisi tersebut.

Pergi lebih dari 15.ooo kilometer ke negeri Uncle Sam. Saya mendapati kondisi yang berbeda. Jauh dari realita yang aku hadapi di Jakarta. Mungkin ini utopia yang ada dalam benak pemimpin kita hari ini. Di Athens, Ohio aku banyak melihat para mahasiswa berkebutuhan khusus di kampus. Banyak bukan berarti jumlah mereka yang signifikan tetapi jika dibandingkan dengan di Indonesia jumlah mereka cukup berarti. Saya akan berbagi mengenai hal tersebut kali ini.

Mengenai jumlah mereka yang cukup banyak di kampus ini menandakan bahwa akses mahasiswa berkebutuhan khusus ini dihargai di masyarakat dan memiliki akses yang cukup luas untuk berkuliah. Mereka dapat berkuliah sebagaimana mahasiswa lain yang normal. Logikanya, jika di kampus banyak mahasiswa yang seperti itu pastinya di tingkat pendidikan yang lebih rendah siswa berkebutuhan khusus juga diakomodasi dengan baik. Benar saja. Begitu aku beranjak ke salah satu SD di Athens, saya melihat tidak sedikit siswa tuna rungu atau yang mengalami malfungsi tubuh yang lain. Mereka tidak dipisahkan dengan siswa lain yang normal, berbeda dengan di Indonesia karena siswa yang berkebutuhan khusus disekolahkan di SLB bukan di bangku sekolah reguler. Yang kami lihat di sekolah itu setiap beberapa siswa tuna rungu didampingi oleh seorang pendamping yang menerjemahkan materi pelajaran kepadanya. Pendamping tersebut begitu sabar dan tulus menemani siswa tersebut. Gratisnya biaya sekolah di public school membuat lebih banyak orang tua terutama yang memiliki anak berkebutuhan khusus dapat menyekolahkan anaknya hingga jenjang SMU.

Dari segi fasilitas, orang-orang cacat didukung dengan berbagai fasilitas penunjang sehingga mereka mampu memperoleh akses yang tidak jauh berbeda dengan mereka yang normal. Berikut ini akan saya beri contoh beberapa alat atau fasilitas yang menunjang mereka yang berkebutuhan khusus ini.

1. Tombol pembuka pintu. Baik di kampus maupun Athens City setiap gedung hampir pasti memiliki pintu yang dilengkapi dengan tombol yang dapat membuka pintu secara otomatis. Tombol ini biasaynya digunakan oleh mereka yang menggunakan kursi roda untuk membuka pintu. Bayangkan betapa sulitnya mereka membuka pintu jika tidak ada tombo tersebut

2. Lintasan khusus penyandang cacat. Di Amerika setiap gedung memiliki akses jalan yang memudahkan penyandang cacat khususnya yang menggunakan kursi roda untuk masuk atau keluar gedung. Sehingga mereka tak tidak perlu kesulitan melewati tangga sebagaimana yang kita temui di Indonesia. Berikut ini adalah contoh lintasan tersebut.

3. Huruf braille. Awalnya aku tidak menyadari mengapa ada bulat-bulat kecil di setiap muka lift. Kemudian baru aku sadari bahwa susunan bulat itu ada di setiap lantai di muka lift. Susunan bulat-bulat kecil  itu tidak lain adalah huruf Braille yang menginformasikan kepada para tuna netra untuk mengetahui di lantai manakah ia berada.

4. Special track. Di trotoar sepanjang Athens ada pola yang berbeda berupa serangkain balok timbul pada pathway yang kita lalui. Awalnya aku pikir itu adalah bagian dari seni. Tetapi pola tersebut lebih berperan fungsional daripada artistik. Pola tersebut sengaja dibuat untuk memudahkan para tuna netra untuk berjalan secara mandiri . Pola yang dibuat pada trotoar tersebut didesain sedemikian rupa sehingga dapat memberi tahu penggunanya apakah jalan tersebut lurus, berbelok, atau di persimpangan.

5. Fountain. Kita tak perlu membeli air minum jika berada di Athens, karena di sana tersedia fountain baik di kampus maupun di luar kampus. Fountain berbentuk seperti wastafel dan berfungsi sebagai penyedia air siap minum bagi penduduk.  Kita cukup merunduk dan menekan knop yang tersedia, setelah air keluar barulah kita tenggak air tersebut. Nah, pada setiap lokasi fountain selalu tersedia dua jenis fountain. Yang pertama terletak lebih tinggi dari yang lain, fountain ini ditujukan bagi orang pada umumnya. Sedangkan fountain yang kedua terletak sedikit lebih rendah dan ditujukan bagi para pengguna kursi roda. Posisi fountain tersebut sengaja didesain seperti itu sehingga tidak menyulitkan pengguna kursi roda untuk mengakses air minum.

Satu cerita lagi tentang Bang Tolhas. Ia adalah seorang tuna netra yang sedang menyelesaikan kuliah pasca sarjana di Ohio University. Setiap hari ia pergi Alden Library untuk menyelesaikan risetnya. Di perpustakaan tersebut tersedia sebuah ruang kerja khusus baginya. Di dalam ruang kerja tersebut terdapat berbagai perangkat yang memudahkannya bekerja. Saya pernah masuk ke dalam ruangan tersebut. Salah satu alat yang saya lihat di sana adalah sebuah scanner yang dapat memindai teks dan memperdengarkan teks tersebut dalam bentuk audio. Perangkat lain adalah sebuah komputer di desain khusus untuknya untuk mengolah dokumen.

Setelah membahas berbagai fasilitas yang tersedia, mari kita bahas keberadaan para penyandang cacat secara ekonomi. Berbeda dengan di Jakarta, di Athens banyak peluang pekerjaan yang dapat dilakukan para penyandang cacat. Saat saya meminjam film di Alden Library, penjaga store film tersebut adalah seorang mahasiswa laki-laki yang hanya memiliki dua jari. Dia tetap dapat bekerja dengan baik dan tentu saja memiliki penghasilan tambahan.

Kali lain aku pergi ke Baker Center, gedung lima lantai yang lebih mudah dipahami sebagai Student Center. Hari itu aku ingin datang ke Tuesday discussion yang saat itu membahas Healtcare. Karena tidak tahu ruangannya aku datangi pusat informasi. Yang aku temui di sana adalah seorang mahasiswa berkursi roda dengan wajah yang agak berbeda dari wajah lelaki umumnya. Dia seorang tuna daksa sekaligus tuna grahita. Aku bertanya padanya dan dia dapat memahami apa yang kukatakan. Ia tak mengalami masalah berarti untuk melayaniku saat itu. Selain dua jenis pekerjaan itu, aku juga pernah menemui seorang tuna grahita yang bekerja di kafetaria.

Berita baiknya bagi para penyandang cacat di Amerika adalah mereka dapat mengajukan permohonan kepada pemerintah sehingga ia bisa menerima santunan tiap bulan. Santunan itu dikirim melalui cek yang dikirim ke email mereka masing-masing. Nilainya kira-kira lebih dari 1000 dollar per bulan untuk menutupi biaya hidupnya. Inilah yang menjadi perdebatan antara kaum Republikan dan Demokratik. Mereka yang berwarna merah menentang kebijakan ini karena mereka pikir buat apa mereka bekerja keras sementara pajak yang mereka bayar dinikmati orang-orang yang malas bekerja dan para pengangguran. Sedangkan mereka yang lebih biru menganggap sebagai upaya pemerataan dan pembagian yang adil dimana peran pemerintah lebih terlihat dan terasa.

Terlepas dari perdebatan tersebut, yang jelas kebijakan ini telah memberi akses yang begitu besar bagi penyandang cacat untuk hidup dalam arus utama kehidupan. Pertanyaannya mengapa akses itu bisa sedemikian luas. Jelas karena semua hal itu sudah dimuat dalam aturan dan undang-undang. Jika hal itu tidak dilaksanakan maka siapapun yang melanggar dapat ditindak dan dihukum dengan tegas. Sekali lagi ini terjadi karena mindset pemerintah dan masyarakat yang lebih fokus pada apa yang masih bisa penyandang cacat ini dapat lakukan bukan keterbatasan apa yang mereka miliki.

Semoga cerita ini tak lama lagi menjadi realita ketimbang utopia di Jakarta.


Leave a comment