Dua hari ini aku menemani Diah ke sebuah tempat yang penuh sejarah bagiku dan kuharap juga kelak baginya, SMP Negeri 49 Jakarta. Penuh sejarah karena di tempat inilah kulit kuningcerahku berubah menjadi coklat terpapar sinar matahari di lapangan, di atas pentas, di perkemahan Cibubur dan di jalan2 Jakarta.
Dua hari ini kami habiskan bersama dengan membaca buku, mengerjakan soal, mengendarai motor, mengerjakan soal ujian, dan menunggu bel pulang berdering. Perjuangan adiku masuk ke SMP ini kini jauh lebih berat dari diriku. Dahulu dengan NEM 44,95 aku sudah bisa duduk manis di kursi kelas 1-2. Namun, kini sekolah yang berlabel Rintisan Sekolah Berstandar Internasional ini mengharuskan setiap calon peserta didiknya menjalani serangkaian ujian Ujian tersebut meliputi seleksi berkas, tes potensi akademik (matematika, IPA, Bahasa Indonesia, Pengetahuan Umum), tes lisan bahasa Inggris, dan tes komputer. Tidak berhenti sampai di situ saja, nilai UN juga akan dipertimbangkan sebesar 40%. Jadilah ujian ini menjadi banyak dan panjang. Satu hal yang aku sampaikan pada Diah, “Kau akan duduk di salah satu kursi di sekolah ini”.
Untuk 210 kursi
Tahun ini sekolah ini tidak membuka kelas reguler. Semua kelas adalah kelas RSBI. Full AC and bilingual for some subject. Pendaftar yang terverifikasi terdapat lebih dari 650 orang dengan jumlah kursi 210 saja. What a tough competition! The question is why there are so many applicants who want to get a chair in this school?
Jawabannya mungkin klise. Sekolah ini memang salah satu sekolah menengah pertama yang sejak berpuluh tahun mampu membuktikan diri sebagai sekolah unggulan di Jakarta. Tahun ini SMP 49 menjadi salah satu dari sekitar 6 SMP di Jakarta yang telah menerapkan konsep pendidikan RSBI. Terlepas dari urusan RSBI itu, aku tetap dapat katakan sekolah ini unggulan. Di sinilah aku mulai belajar mengangkat tangan untuk bertanya setelah guru menjelaskan, maju ke muka untuk menjelaskan, dan memberanikan diri untuk berpresentasi. Di luar bidang akademik, sekolah ini justru terlihat semakin menonjol. Pramuka menjadi ekstrakurikuler yang paling favorit sejak dulu karena tak sedikit siswanya yang ikut jambore nasional juga jambore dunia. Inilah ekskul yang aku ikuti dulu dan ekskul inilah yang bertanggung jawab atas perubahan warna kulitku. Pada masa itu, bumi perkemahan cibubur sudah seperti halaman belakang rumah kami. Tak terhitung sudah perkemahan yang kami ikuti. Pramuka jugalah yang membuat diriku bertemu Ibu Mega (kalau SD dulu ketemu Pak Harto dan Pak Habibie, SMA SBY donk, tapi belum pernah ketemu alm Gus Dur ). Selain Pramuka masih ada beragam ekskul lainnya yang tak kalah kerennya. Jadilah siswa 49 terdidik di alam kelas dan matang di luar kelas sehingga banyak peminatnya.
Sewaktu Diah ujian, aku menghabiskan waktuku dengan nostalgia (hehehe), ngerjain buku TOEFL, dan ngobrol dengan orang tua murid lainnya. Mereka pasti mengkira aku mengantar anak (hehehe) dan aku selalu bilang kalau aku mengantar adik (diikuti raut wajah mereka yang sedang garuk kepala tak percaya). Hasil obrolanku dengan banyak ayah dari murid2 lain membuktikan betapa setiap orang tua tidak peduli apa dan berapa biaya yang mesti dikorbankan demi pendidikan anaknya yang baik (thanks to my MOM and DAD). Sewaktu anak2nya ujian setiap ibu dan ayah yang duduk di luar ruang ujian tak henti merapal doa demi keberhasilan anaknya. Pada hari pertama saat shalat ashar banyak orang tua yang shalat di awal waktu dan berlama-lama berdoa. Keesokannya kupikir tak banyak yang akan shalat dhuha, tetapi aku salah. Beberapa orang pria dan wanita silih berganti bersujud di mushola yang tak pernah berubah hingga kini. Pak Pur dan Pak Syaiful (guruku) juga terlihat menunaikan shalat Dhuha.
Aku habiskan lebih dari 30 menit ngobrol bersama Pak Pur. Membawa lembar2 memori itu datang kembali. Masih jelas teringat di benakku ketika banjir besar Jakarta melanda. Pertigaan HEX banjir besar. Tak ada mobil yang berani melintas. Angkot dan kendaraan pribadi berbalik arah semua pagi itu, kecuali satu kendaraan : TRUK SAYUR PASAR INDUK. Jadilah aku turun dari angkot dan memanjat ke atas truk. Setelah banjir itu terlewati kami turun dekat Komseko, masuk ke kampung tengah dan menyebrang ke gang Melati. Di sanalah kami tersenyum dengan sepatu basah, baju lepek, saat memandangi papan tulis di sebelah Pak Syaiful yang bertuliskan kapur putih : SEKOLAH LIBUR.
Akhirnya bel berbunyi. Aku antar Diah pulang dengan cerita2 yang semoga mampu kelak dia ukir sendiri. Tak henti ku rapal doa, “Semoga Allah mengizinkan dirimu bersekolah di sini Adikku sayang”. Ignition ON> Starter ON> Gear 01> kereta melaju.
HAhaahhahahaha….tampang om2 si ente.
#ketawanya puas bgt…
Semoga diah keterima boi =) Takkan lari gunung dikejar hehe
yup, semoga adiknya keterima…
mengantar anak? jika menikah di usia 25 maka, muka umur minimal 37 tahun hwuahahaha….
kebayang Ran, ekspresi lu waktu baca “SEKOLAH LIBUR”..hahahaha..
pasti Diah, ade lu, senang ditemani oleh kakaknya yang baik hati dan setia menemaninya (GR dah!!)..
mudah2an Diah, bisa masuk SMP yang di idamkannya..
sukses buat Diah ya, semoga dia bisa lebih dari kakaknya!!