Adzan bisa menjadi suatu hal yang lazim saja. Pertanda selesainya dinas matahari pada suatu hari dan awal bagi rembulan menjaga malam hari di muka bumi. Adzan menjadi begitu berharga bagi mereka yang berpuasa karena dia yang memisahkan lega dan dahaga, puas dan lapar, serta menjadi awal pertemuan kita dengan malam yang khusyuk dan berwarna. Saya sendiri punya dua pengalaman adzan di dua Amerika yang pertama penuh haru biru yang kedua penuh tanda tanya. Mari kita simak 🙂
Hari itu adalah masa-masa awal saya berkuliah di Amerika. Kami masih dalam masa orientasi dan menyesuaikan diri dengan lingkungan baru ini. Setelah rajin shalat di kamar sendiri saja, akhirnya saya menemukan the Islamic Center of Athens di South Green, Ohio University. Tempat itu tidak begitu besar berbentuk persegi berlantai dua. Dindingnya terbuat dari kayu bercat putih sungguh klasik dan sejuk. Ruang perseginya menawarkan hangat kebersamaan persaudaraan muslim rantau. Beberapa menit lagi akan masuk waktu ashar saat saya dan beberapa mahasiswa Indonesia lainnya merebahkan diri di ruang sholat. Tak lama kemudian jam digital di muka mimbar menunjukkan waktu ashar tiba. Seorang pria berwajah Timur Tengah berdiri lalu ia kumandangkan adzan dengan mikrofon. Suara adzan itu lembut terdengar walau hanya dalam ruangan berukuran kira-kira 10 x 10 m itu. Aku terduduk. Tak lama ada rasa berbeda yang perlahan menyelinap dalam hati. Rasa rindu akan tanah air dan adzan yang wara-wiri tiap waktu shalat tiba. Kini aku telah berada puluhan ribu mil dari bumi tanah air dari Asrama PPSDMS tempat biasanya kami bangkit dari kantuk untuk menegakkan diri dalam malam dan subuh hari. Tak ada lagi adzan di luar ruangan ini walau aku berlari ke seluruh penjuru mata angin berkilometer jauhnya. Ada keharuan melanda kalbu dan saat itu manislah terasa menjadi muslim di negeri orang. Kalimat tauhid menjadi kita kuat membuncah dalam hati, menuju tenggorokan dan berakhir di kelenjar air mata. Ya Rabb, terima kasih atas adzan yang kau beri sore hari itu. Kami pun berdiri menegakkan punggung empat kali. Kami menikmati kemerdekaan karena kami ber-Islam 😀
Setahun lebih berselang atau tepatnya tadi malam saat saya kembali ke Amerika hanya selama 2.5 jam saja. Ya, saya tadi malam sowan ke rumah dinas Duta Besar Amerika untuk memenuhi undangan buka bersama dan makan malam bersama beliau. Seluruh undangan sudah berada di lobi utama saat jam menunjukkan pukul 17.30 WIB. Saya masuk bersama beberapa alumni IELSP lainnya. Kami disambut dengan ramah dan penuh kehangatan. Memasuki lobi kami disambut oleh beberapa staf keduataan yang berdiri tegap dan tinggi menjulang dengan balutan jas abu-abu yang rapi dan resmi. Kami mulai mengobrol ngalor ngidul mulai pengalaman kami kuliah di Amerika hingga kondisi ekonomi Amerika terkini
Saat masih asyik ngobrol sana sini, seorang senior saya menyapa dan memperkenalkan salah seorang staf kedutaan yang langsung meminta kesediaan saya untuk menjadi muadzin. Dengan semangat PPSDMS (ngebayangain kayak apa) saya langsung menyanggupi tawaran tersebut. Tak lama kemudian HE Scot Marciel. Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia memberikan sambutan singkat dalam bahasa Inggris yang intinya, apa ya??? (lupa gw) Pokoknya mereka menyambut baik kehadiran kami sebagai alumni program Indonesia-Amerika dan berharap kami bisa melanjutkan studi di luar negeri bla-bla-bla. Setelah sambutan selesai seluruh hadirin kembali berbaur dan berbincang dengan hangat. Tak lama kemudian seorang anggota staf kedutaan memberi isyarat kepada Agus, adik kelasku di IPB, untuk mulai memukul bedug. Tek-tek-tek dug-dug-dug (bunyi bedug). Ruangan menjadi senyap sejurus pukulan Agus menemui muka bedug. Pak Scot Marciel dan beberapa stafnya yang berdiri sekitar 2 meter dari kami pun berhenti bercakap-cakap.
Begitu Agus selesai dengan bedugnya, aku maju ke hadapan mic, mulai menjadi muadzin. Dalam hati agak sedikit deg-degan karena pertama kali adzan beneran gak di masjid dulu sih pernah ikut lomba adzan tapi gak menang juga seih hehe. Terlebih lagi adzan ini di rumahnya Pak Dubes USA di tempat yang ngomong bahasa Arab mungkin rada sensitif. Namun, aku yang beruntung mengumandangkan takbir, kalimat syahadat dalam lantunan adzan di ruang tersebut. Semakin lama adzan aku semakin rileks walau aku tahu betul semua mata perhatian tertuju pada adzan yang aku kumandangkan ini. Pak Dubes dan staf-stafnya masih saja menyimak penuh perhatian, suasana masih khidmat. Namun tak lama suasana berubah gaduh. Orang-orang yang berdiri di belakang Pak Scot mulai menimbulkan suara berisik, entah apa. Pak Scot yang berada di dekatku juga merasa gundah dengan hal tersebut. Aku mulai deg-degan lagi sambil bertanya dalam hati, “Apa ada yang salah dari adzan yang aku kumandangkan, ya?” Ku ambil alih ketenangan dalam diri dan meneruskan adzan dengan lantang. Sampai pada bacaan Hayya ‘alal falah suasana makin gaduh, malah samar aku mendengar beberapa orang berbincang dengan serunya hampir seperti sebelum adzan tadi. Hal ini menimbulkan tanya dalam diri, “apa bener gak ada yang salah dengan adzanku? Atau harusnya adzan pake bahasa Inggris (hehehe ngaco)” Aku tetap fokus meneruskan adzan hingga selesai. Begitu selesai membaca doa selepas adzan aku baru sadar kemudian bahwa saat aku adzan Pak Scot dan beberapa staf yang berdiri di barisan depan memang mendengarkan dengan khidmat. Aku pikir itu bagian dari upaya penghormatan mereka terhadap Islam, dalam hal ini mendengarkan adzan tanpa menyambi ngobrol di antara sesama mereka. Namun, saat memasuki tengah-tengah adzan, undangan-undangan yang hadir dan berada di belakang Pak Scot udah gak terlalu peduli lagi dengan adzan karena perhatian mereka sudah beralih kepada ta’jil yang terhidang di meja. Jadilah mereka menikmati ta’jil itu sambil mengobrol, bahkan terdengar beberapa gelas berbenturan yang membuat suasana kian meriah. Menyadari hal itu aku lega, setidaknya bukan adzanku yang salah hehe 🙂 Segera berbuka merupakan sunah, tetapi dari peristiwa ini aku melihat jelas bagaimana penghormatan Pak Scot dan staf-stafnya terhadap adzan magrib itu. Buatku sebagai seorang muslim itu berarti.
The conversation between east and west has recently became a big issue. Giving respect to the differences between them, I think can be a good way to reduce conflict and take much more benefits from the east-west relationship. 🙂