Adzan di Rumah Dubes Amerika


Adzan bisa menjadi suatu hal yang lazim saja. Pertanda selesainya dinas matahari pada suatu hari dan awal bagi rembulan menjaga malam hari di muka bumi. Adzan menjadi begitu berharga bagi mereka yang berpuasa karena dia yang memisahkan lega dan dahaga, puas dan lapar, serta menjadi awal pertemuan kita dengan malam yang khusyuk dan berwarna. Saya sendiri punya pengalaman berkaitan dengan adzan yang unik di rumah dinas Duta Besar Amerika untuk Indonesia, Pak HE Scot Marciel. Mari kita simak 🙂

Pada 22 Agustus yang lalu atau bertepatan dengan 22 Ramadhan 1432 H saya berkesempatan untuk sowan ke kediaman dinas Duta Besar Amerika. Pada kesempatan tersebut Kedutaan Besar Amerika mengundang alumni-alumni program pertukaran pemuda Indonesia-Amerika untuk berbuka puasa bersama. Sebelum pukul 17.30 beberapa undangan sudah terlihat hadir di Taman Suropati, tepat di seberang rumah dinas Pak Scot. Begitu masuk kami melakukan registrasi dan menjalani pemeriksaan barang bawaan yang umumnya juga dilakukan berbagai kantor dan hotel di Jakarta. Seluruh undangan sudah berada di ruang utama saat jam menunjukkan pukul 17.30 WIB. Memasuki ruangan tersebut kami disambut oleh beberapa staf keduataan yang berdiri tegap dan tinggi menjulang dengan balutan jas abu-abu yang rapi dan resmi. Kami disambut dengan ramah dan penuh kehangatan. Kemudian, kami mulai mengobrol ngalor-ngidul mulai dari pengalaman kami kuliah di Amerika hingga kondisi ekonomi Amerika terkini.

Saat masih asyik ngobrol sana-sini, seorang senior saya menyapa dan memperkenalkan salah seorang staf kedutaan yang langsung meminta kesediaan saya untuk menjadi muadzin. Ternyata muadzin yang seharusnya bertugas hari itu berhalangan hadir sehingga staf tersebut harus mencari volunteer yang mau menggantikannya. Tanpa ragu saya langsung menyanggupi tawaran tersebut.

Tak lama kemudian, ruangan menjadi hening saat Pak Scot Marciel memberikan sambutan singkat dalam bahasa Inggris yang intinya menyambut baik kehadiran kami sebagai alumni program pertukaran pemuda Indonesia-Amerika dan berharap kami bisa melanjutkan studi pada jenjang yang lebih tinggi di luar negeri. Kami menyimak dengan serius dan benar-benar berharap bisa melanjutkan studi sebagaimana yang diharapkan Pak Scot. Begitu sambutan selesai, Pak Scot berbaur kembali dengan hadirin yang mulai kembali berbincang satu sama lain sehingga menimbulkan suara riuh rendah.

Beberapa saat kemudian seorang anggota staf kedutaan memberi isyarat kepada Agus, adik kelasku di kampus, untuk mulai memukul bedug. Tek-tek-tek dug-dug-dug (bedug berbunyi). Ruangan menjadi senyap sejurus pukulan Agus menemui muka bedug. Pak Scot Marciel dan beberapa stafnya yang berdiri sekitar dua meter dari kami pun berhenti bercakap-cakap. Begitu Agus selesai dengan bedugnya, aku maju ke hadapan microfon, lalu mulai beradzan. Dalam hatiku agak sedikit deg-degan, takutnya nanti salah melafalkan adzan, khan malu kalau begitu jadinya. Terlebih lagi beradzan di rumahnya Pak Dubes Amerika, di tempat yang mungkin berbicara dengan bahasa Arab bukan suatu kelaziman. Namun, aku juga merasa beruntung mengumandangkan takbir dan kalimat syahadat dalam lantunan adzan di ruang tersebut.

Pada awal beradzan, degup jantung amat cepat karena perasaan grogi. Namun, semakin lama aku semakin rileks walau aku tahu betul semua mata perhatian tertuju pada adzan yang aku kumandangkan ini. Pak Scot dan staf-stafnya masih saja menyimak penuh perhatian, suasana masih khidmat. Namun, tak lama suasana berubah gaduh. Undangan yang hadir dan berdiri di belakang Pak Scot mulai menimbulkan suara berisik, entah apa. Pak Scot yang berada di dekatku juga merasa gundah dengan hal tersebut. Ia sesekali menoleh ke belakang untuk melihat keadaan lalu kembali menyimak adzan. Aku mulai deg-degan lagi sambil bertanya dalam hati, “Apa ada yang salah dengan adzan yang aku kumandangkan?” Ku ambil alih ketenangan dalam diri dan meneruskan adzan dengan lantang. Sampai pada bacaan Hayya ‘alal falah! suasana makin gaduh, malah samar-samar aku mendengar beberapa orang berbincang dengan serunya hampir seperti sebelum adzan tadi. Hal ini menimbulkan tanya dalam diri, “Apa benar gak ada yang salah dengan adzanku? Atau harusnya saya adzan pakai Bahasa Inggris (hehehe ngaco)” Aku tetap fokus meneruskan adzan hingga selesai.

Begitu selesai membaca doa selepas adzan aku baru sadar kemudian bahwa saat aku adzan, Pak Scot dan beberapa staf yang berdiri di barisan depan memang mendengarkan dengan khidmat. Aku pikir itu bagian dari upaya penghormatan mereka, dalam hal ini mendengarkan adzan tanpa menyambi ngobrol di antara sesama mereka. Namun, saat memasuki tengah-tengah adzan, undangan-undangan yang hadir dan berada di belakang Pak Scot udah gak terlalu peduli lagi dengan adzan karena perhatian mereka sudah beralih kepada ta’jil yang terhidang di meja. Jadilah mereka ‘berburu’ menikmati ta’jil itu untuk membatalkan puasa sambil mengobrol, bahkan terdengar beberapa gelas berbenturan yang membuat suasana kian meriah -__-” Menyadari hal itu aku lega, setidaknya bukan adzanku yang salah hehe. Segera berbuka puasa merupakan sunah, tetapi menghormati adzan dengan mendengarkannya juga merupakan hal yang baik. Dari peristiwa ini aku melihat jelas bagaimana penghormatan Pak Scot dan staf-stafnya terhadap adzan magrib itu. Buatku sebagai seorang muslim itu sungguh berarti.


One thought on “Adzan di Rumah Dubes Amerika

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s