“aku terlahir ketika perang Pasifik tengah berkecamuk”
Begitulah kira2 Soe Hok Gie mengawali buku hariannya. Setidaknya itu yang masih teringat di kepalaku kini setelah membaca catatan harian seorang demonstran saat masih SMA dahulu. Posting ini bukan bermaksud menduplikasi apa yang telah dilakukannya tapi lebih sebagai refleksi diri akan setiap langkah yang telah aku lalui bersama keluargaku. Yang aku yakini bahwa setiap keberhasilan selalu berawal dari keluarga dan keluarga khususnya ayah dan ibuku yang menjadi tokoh paling berjasa dalam hidupku. Sebagai permulaan terlebih dahulu aku bersyukur pada Allah atas dua malaikat yang telah Allah kirim untukku yang menemani tiap tangis dan demamku, membimbing dengan sabar pada tiap keluh dan amarahku, dan memelukku erat saat malam-malam gelap yang begitu pekat. Terima kasih ayah dan bunda…
Ibu datang merantau ke Jakarta hanya berbekal ijazah SMIP Pacitan. Sesampainya di Jakarta, tempat tanpa sanak saudara, ia bekerja di sebuah pabrik sebagai seorang supervisor yang tak punya kecakapan yang mumpuni. Namun, perjuangannya dimulai jauh sebelum itu. Ibu adalah sosok yang haus akan pendidikan di lingkungan yang memandang pendidikan adalah barang mahal dan tak tentu arahnya. Maklum saja, Pacitan adalah daerah berkelok-bergunung di Jawa Timur yang hingga kini saja masih berantakan jalannya. Bisa dibayangkan betapa sulitnya ke sana 50 tahun yang lalu. Mbahku tak mengizinkannya sekolah tapi ia sudah bulat akan pilihannya. Ia bersekolah sendiri biar sesekali dimarahi ibunya sendiri. Selulus SD ia tak berhenti ia teruskan hingga SMP dan SMIP di Kota Pacitan. Saat bersekolah di SMIP ia menumpang di rumah alm Pak Bandoyo, seorang yang nantinya menjadi penghubung antara ayah dan ibu saat mereka menikah.
Selesai dari SMIP ia merantau ke Jakarta. Tujuan cuma satu: Kuliah. Ketiadaan biaya membuatnya harus bekerja untuk membiayai hidupnya. Bekerjalah ia di sebuah pabrik dengan jabatan supervisor yang telah aku sebut tadi. Setiap istirahat tiba ia selalu menangis karena tak kunjung bisa berkuliah tapi bara semangatnya tak pernah padam untuk berkuliah. Suatu saat ia berkenalan dengan teman satu pabriknya yang punya kenalan untuk mendaftar di PGSMTP sebuah program satu tahun untuk mengajar sebagai guru. Singkat cerita ia lolos dan dapat menuntut ilmu di sana dengan beasiswa dari salah seorang kenalan di Departemen Agama. Rencana kuliahnya pun berlanjut, IKIP Muhammadiyah. Tapi niat itu tertunda karena ia bertemu dengan pria yang kemudian disebut sebagai suaminya setelah mereka menikah 24 tahun yang lalu. Ayah berjanji saat itu untuk membiayai kuliah mamah sampai selesai. Padahal mereka sama-sama tahu bahwa itu bukan perkara yang mudah saja.
Lain ibu, ayah memulai perjuangannya di tengah kota Semarang. Jika kau ingin tahu ia adalah penarik air kampung Slamet, di daerah Mataram. Tak heran setiap aku pulang kampung ke rumah Mbah Semarang ayah selalu disapa ramah oleh tukang becak, tukang air dorong, tukang kaki lima dan lain. Mereka memang sudah kawan lama. Jika luang ayah menemani Mbah Kakung untuk narik angkot. Alm Mbahku adalah supir angkot. Ia lebih beruntung dari Ibu karena bisa bersekolah lebih leluasa dan kesempatan itu tak pernah disiakannya. Ia berusaha keras sehingga menjadi salah satu yang terbaik di kelasnya. Selepas lulus SMA ia mendaftar ke Telkom dan TNI AU dan nasib membawanya ke Jakarta sebagai seorang tentara untuk menemui pasangannya hingga surga (Insya Allah).
Mereka pun akhirya menikah 24 tahun lalu dalam kondisi yang amat terbatas atau lebih tepatnya pas-pasan. “Kamu tahu nak? Dulu ayah menikah saat penghasilan ayah cuma 80ribu sebulan” jelas ayah padaku. “Dulu kami cuma makan nasi pake sambal dan tahu nak” cerita Ibu padaku. Aku bukan tidak tahu, aku pun sempat merasakan masa-masa pahit itu. Dahulu kami tinggal di Tanjung Priok, lebih tepatnya di Warakas. Terkadang aku main ke atas kapal sambil disuapi Ibu. Saat air pasang rumah kami pasti kebanjiran. Jika sudah banjir maka got yang hitam akan luber sampai ke dalam rumah dan tugasku cuma satu ikut bantu membersihkan halaman rumah. Terkadang saat aku terbangun dari tidur aku berada ditengah genangan air yang menggenangi ruangan yang berantakan. Suatu hari aku pernah tercebur ke dalam got yang penuh kotoran itu rupanya hitam sekali saat aku bermain jual-julan koran. Tangisku tak keruan. Ibu memandikanku kemudian. Tak perlu aku jelaskan lebih lanjut tapi yang jelas sanitasi di sana buruk sekali. Sampai-sampai tangan kiriku pernah korengan yang membuatku tak bisa menggenggam dengan tangan kiri. Rumah itu kini telah tiada berubah menjadi jalan tol yang berdiri setelah penggusuran. Namun, rumah itu yang menjadi saksi bahagianya kedua malaikatku yang bahagia melihat putranya bisa berdiri dan berjalan bahkan terus berlari.
Sudah agak besar aku masih ingat bahwa aku sering menjemput ayah yang pulang dari kantornya. Aku juga terkadang menemani ayah menukar beras jatah TNI dengan beras yang lebih sedikit jumlahnya tapi lebih pulen. Mengingat gajinya yang tidak seberapa, ayah menjaga bioskop sepulang kantor. Saat ibuku kuliah, ia cuma berbekal 500 rupiah. 400 rupiah untuk ongkos 100 rupiah ditabung. Suatu hari ibu nemu uang 100 rupiah di bus kota, ia senang sekali karena bisa membeli air minum dengan uang itu, maklum saja ia tak pernah jajan selama kuliah. Sepulang kuliah Ibuku mengajar di sebuah SMP. Suatu hari saat hamil besar ia terjatuh karena keletihan. Ibuku juga masih fasih menceritakan bagaimana paniknya ayah membawa ibu masuk ke rumah sakit Gatot Subroto untuk melahirkanku ke dunia.
Saat aku menjelang berusia 4 tahun, kami pindah ke Halim. Aku masih ingat saat ayah mengecat rumah ini untuk pertama kalinya. Tanganku masih korengan hari itu. Kehidupan kami berangsur membaik hari-hari itu. Saat itu belum ada mal di dekat rumah. Setiap bulan aku dan ayah menggowes sepeda untuk berbelanja di toko Cina. Momen itu masih jelas teringat di memoriku. Oiya, suatu hari saat masih di Priok, ayah pernah menyuapiku bubur ayam di pinggir rel kereta sambil melihat anak-anak lain yang main layang-layangan. Saat kereta melintas kami menyingkir dari rel untuk sesaat. Momen itu masih jelas sekali dan begitu indah.
Tahun 1995 ibuku lulus sebagai Sarjana Pendidikan IKIP Muhammadiyah. Hari itu aku izin dari sekolah untuk datang ke wisuda Ibu. Aku diantar tanteku menuju lokasi wisuda. Tapi kami tak pernah sampai ke wisuda itu, langkah kami tertahan di Kampung Rambutan karena bus tak kunjung datang hingga hari siang. Rumah ini pun juga berubah sesaat demi sesaat. Aku bisa bersekolah di tempat yang baik dan kompetitif. Saat aku sakit kedua malaikatku sungguh panik karena aku jarang sekali sakit. Tak pernah habis kasih sayang mereka. Ayah suka mengajak aku shalat malam saat aku masih mengantuk di tengah malam.
Sungguh banyak rizki yang telah Allah beri kepada kami. Sebuah motor, TV, komputer dan kasur yang nyaman bersama kehangatan keluarga berlimpah di rumahku. “Sekarang kau bisa bercerita soal Amerika nak” lirih ucap Ibu padaku. Thanks Mom ^^ I love you so much. Kita telah hadapi banyak hal bersama pahit getir ini. Mengingat semua memori itu, tak perlu ada ragu dan takut dalam hati yang menghampiri tuk hadapai hari depan. Yang mesti kita takuti adalah sebuah pertanyaan: adakah kita sudah bersyukur atas segala anugerah dan keselamatan yang telah Allah beri kepada kami? “Ampuni kami ya Rabb, atas segala kelalaian kami dari mengingat-Mu atas kekhilafan kami untuk bersyukur atas segala nikmat dari-Mu. Pada 24 tahun kebersamaan kami, aku mohonkan doa Ya Rabb, kasihilah kedua orangku sebagaimana mereka mengasihi aku sewaktu aku kecil.
Terima kasih Ibu dan Ayah atas segala yang telah kau beri padaku. Kini kau berikan jalan bagiku untuk menapaki hidupku sendiri. Iringilah terus aku dalam doa-doa malam kalian dan semoga Allah terus mengasihi dan memberkahi kita semua 🙂
(º̩̩́Дº̩̩̀) *mengharukaaaaaaaaaan, meres sapu tangan*
nih tisu lagi phie, gw baru baca ulang