Menjelang subuh saat aku meninggalkan lapangan Monas. Tadi malam kami tidur beralas aspal di bawah langit malam.
Kami langkahkan kaki menuju stasiun Gondangdia. Langit masih semburat merah. Burung hilir mudik di udara. Jalan ibukota masih lengang. Kami rebahkan badan di depan peron selepas dua rakaat di mushola warga setempat. Petugas karcis belum hadir.
Begitu peron dibuka kami beli karcis menuju kampus. 2000 rupiah. Di hadapan rel sudah berjajar beberapa siswa SMP yang hendak sekolah. Tak lama gerbong-gerbong baja itu lewat. “Ini yang kemana dik?” tanyaku melihat beberapa calon penumpang mulai gelisah. “Ini yang ke Bogor kak, tapi ke Kota dulu. Nanti lewat sini lagi tapi gak berhenti” jawabnya. Aku sudah hendak beranjak naik mengikuti anak itu. Sampai teman-teman mahasiswa lain melarang karena tak percaya kereta itu ke Bogor.
Dalam hati aku meyakini anak SMP itu benar karena setiap hari dia yang naik kereta ini. Tanpa pikir lama ku kejar kereta itu. Pada salah satu gerbong yang terbuka aku meloncat. Kakiku menatap pasti berharap menemukan pijakan. Mataku tak lepas pada langkah kakiku. Kereta makin melaju cepat.
Sayang sekali kaki gagal menemui pijakan. Tapak sepatuku hanya berada di antara gerbong kereta dan tepi stasiun. Tak terbayang sudah apa yang akan terjadi berikutnya. naudzubillah.
Tubuhku berada di antara gerbong kereta dan stasiun. Beberapa milidetik itu begitu antara nyata dan khayal. Sampai ada orang di dalam gerbong menarik kuat tasku ke dalam. Aku tersungkur di bawah kaki-kaki orang. Aku selamat.
12 Mei 2008 -10 tahun Reformasi-80 tahun Sumpah Pemuda-
awalnya sy bingung pas baca ‘nanti keretanya lewat sini lagi tapi gak berenti’..eh ternyata itu 2008..masi ada ekspress berarti..eh tapi ko harga karcisnya 2000 ya? 😀
seriusan ran?kok serem ya ngebayanginnya?
unforgettable moment pasti ya..:)
itu gw naik KRL ekonomi tik, iya emang gak mungkin dilupain, jadi pasukannya Bang Gema dulu itu
wawawawaw….
gw bacanya nahan napas masaaa………
>..<
sepulang ‘Tugu Rakyat’ yah gan?
yoi pak, zaman muda dulu
eh dulu temen kostan ngeliat kejadian persis kayak randi, tapi endingnya beda, stasiun jadi berdarah. pas balik ke kostan temenku mukanya pucet, badannya gemeteran..