Commitment (2)


Tulisan ini adalah lanjutan atau boleh disebut sebagai bagian kedua dari tulisan sebelumnya yang berjudul Commitment. Namun, tulisan ini akan lebih lanjut membahas bagian akhirnya; soal kontemporer

Sebagai awalan saya ingin membahas komitmen dari kajian linguistik. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, komitmen berarti (1) perjanjian (keterikatan) untuk melakukan sesuatu; kontrak (2) tanggung jawab. Jika kita menilik oxford dictionary commitment means (1) the state or quality of being dedicated to a cause, activity, (2)an engagement or obligation that restricts freedom of action.

Kajian lebih lanjut mengenai makna dari kedua kamus itu akan saya bahas kemudian. Namun, yang akan saya tekankan adalah atas dasar apa komitmen itu dibangun. Dasar dari komitmen itu amat penting dan fundamental karena dari sanalah sejatinya energi itu akan hadir untuk menjalankan, meneruskan, membangun dan menuntaskan hal yang menjadi komitmen tersebut.

Masih ingatkah kau apa yang dikatakan Rasulullah saat ditawari menjadi raja, diberi kekayaan terbesar dan hendak dinikahkan dengan perempuan tercantik di antara suku Quraisy. Dengan mantap Nabi menjawab,”Meskipun mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan ditangan kiriku, agar aku meninggalkan seruanku. Sungguh, sampai mati pun tidak akan kutinggalkan !”

Kau tahu mengapa Rasul bisa menjawab demikian? Yang saya yakini adalah Allah yang menjadi dasar atas komitmen Rasul pada jalan dakwah ini. Sejatinya memang hanya Allah sajalah komitmen itu layaknya dibangun karena terus akan melahirkan energi-energi baru untuk bertahan dan bergerak ke depan.

*bagian sok tahu
Demikianlah juga dengan pernikahan. Komitmen untuk mengarungi hidup bersama sejatinya didasari akan niat untuk beribadah kepada Allah. Niat itulah yang akan mengingatkan, memberi pupuk harapan, mengisi energi untuk terus bergerak bersama dalam jalinan pernikahan. Saat perbedaan hadir, perselisihan muncul, badai menghampiri, dan kekecewaan menyeruak; ingatlah bahwa ini adalah jalan ibadah kepada Allah. Jalinan ini adalah sejadah panjang kita untuk meraih ridha-Nya.

*bahasan lingustik – sok tahu lagi
Komitmen juga bermakna tanggung jawab. Tanggung jawab untuk menjaga, menafkahi, menumbuhkan, merawat dan mencintai. Sehingga padanya kita terikat, padanya kita menjadikan setengah agama dalam ibadah kepada Tuhan. Sehingga kita menjaga diri dan kehormatan dari hal-hal yang tidak baik. Hingga kita menghadap Tuhan dan berharap ridha-Nya agar dimasukkan ke dalam surga.

Ya Rabb, jadikan hamba dekat dengan Mu. Bahkan untuk dekat dengan Mu hamba butuh pertolongan Mu. Wallahu alam

Bab Pengorbanan (Tadhiyah)

Akhirnya kami sampai pada bab ini. Tadhiyah. Tidak ada dakwah tanpa pengorbanan. Begitu kira-kira kami menerima muqadimah yang disampaikan. Lalu meluncurlah pemaparan-pemaparan berikutnya yang membuat kami terdiam karena masih jauh dari paparan ideal itu.

Mengenai pengorbanan ini Guru mengawali dengan sebauh janji Allah Quran QS At Taubah 111 Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Qur’an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.

Inilah sebuah perniagaan yang tidak akan merugi selamanya. Apakah yang kita cari selain surga yang abadi dan hanya bahagia yang ada di dalamnya? Surga yang kita mimpikan tersebut dapat ditebus dengan harta dan jiwa yang juga milik Allah sejatinya. Sungguh itulah kemenangan yang besar.

Tak sampai di sana saja, Allah juga memberi keterangan lain mengenai apa akibat lalai dari pengorbanan kepada Allah. Mari kita simak At Taubah 24 Katakanlah: “jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.

Mendengar ayat ini kami lantas tertunduk betapa kami memang masih jauh yang ideal itu. Teringat betapa kami perlu jujur pada diri ini bahwa ayat ini menegur kami dengan sangat dalam. Ayat ini tidak ditutup dengan sebuah ancaman melainkan keterangan untuk menunggu keputusan Allah yang maknanya justru lebih menakutkan atas kelalaian akan pengorbanan.

Aku kemudian teringat pada sebuah fragmen kehidupan Kartosoewiryo dengan istrinya Dewi Siti Kalsum. Aku tidak ingin berdebat tentang sepak terjang Kartosoewiryo dalam NII/TII. Yang ingin aku angkat adalah kisah pengorbanan mereka akan apa yang mereka yakini.

Suatu hari sebelum wafat pada tahun 1998 pada usia 85 tahun, Dewi pernah diwawancarai wartawan TEMPO mengenai kisah cintanya dengan Kartosoewiryo. Sebagai informasi, Dewi melahirkan 12 orang anak dengan 3 orang di antaranya lahir di hutan, 5 orang anaknya telah wafat; anaknya ada yang tertembak, sakit dan meninggal saat bayi. Melihat catatan ini saja aku melihat betapa istri Kartosoewiryo ini telah melakukan pengorbanan yang begitu besar. Bisakah kau bayangkan hamil dan membesarkan tiga orang anak di dalam hutan??? *mengharukan.

Saat ditanya sang wartawan mengapa ia rela bergerilya menemani suami selama 13 tahun ia bingung menjawabnya. “Karena apa ya, saya sendiri tidak tahu” kata Dewi. “Kalau dibilang karena cinta, Bapak itu sebetulnya kan orangnya jelek” lanjut Dewi.

Dalam masa gerilya itu terkadang Dewi merasa sedih saat menggendong bayinya dan memikirkan masa depan anak-anaknya kelak. Jika situasi itu datang, Kartosoewiryo menghibur Dewi dengan berkata,” Kok sedih amat sih!”. Mendengar ucapan suaminya itu sirna sudah sedih Dewi.

Dari penggalan kisah pada dua paragraf di atas, aku menangkap bahwa sesuatu yang mendasari perjuangan mereka rasa-rasanya bukan sekedar hal-hal yang sementara seperti kekuasaan atau harta semata. Pastilah itu sesuatu yang prinsip sehingga mereka mampu berkorban sejauh itu.

Sebelum di eksekusi mati di Pulau Onrust, Dewi menemui Kartosoewiryo di penjara. Suaminya itu berwasiat,”Tak akan ada perjuangan seperti ini sampai seribu tahun lagi” *meleleh.

Akan ada saat-saat dimana dilema itu akan hadir. Saat keluarga, sahabat, istri, anak, pekerjaan, amal-amal, dan dakwah saling bersinggungan. Pada saat itulah Allah menguji pengorbanan kita. Semoga Allah menguatkan ikatannya dan menjaga kita dalam Ridha-Nya. Aamiin

Tulisan Jelek

Cerita ini mengambil setting saat aku masih duduk di kelas 6 SD kalau tidak salah ingat. Bukan bermaksud pamer tapi sejak kelas 1 SD aku sudah langganan ranking 1 muehehehe :p Oleh karena itu aku sering diminta maju ke depan untuk mengerjakan soal. Hingga pada suatu hari.
Guru: “Randi bawa pekerjaanmu ke depan!”
Gw: “Tapi Pak tulisan saya jelek” *sambil berdiri memegang buku tulis
Guru: “Iya, saya sudah tahu tulisanmu jelek. Sudah sini bawa maju ke depan”
Gw: *berjalan tertunduk lesu memegang buku maju ke depan tanpa suara. -__-” hadeuuh

Stepping Stone 2011

Tahun 2011 tinggal menyisakan beberapa jam saja. Sudah saatnya kita berhenti sejenak untuk melihat apa yang telah kita kerjakan selama setahun lewat dan memastikan diri atas apa yang akan kita kejar di tahun menjelang. Berikut ini adalah kilas balik yang terjadi dalam hidupku setahun terakhir. Ini sekedar live journal bagi diriku pribadi, jika ada yang bermanfaat bagi pembaca aku bersyukur untuk itu.

Bulan Januari lebih banyak aku habiskan di laboratorium baik Lab Polimer Pertamina maupun Lab TIN. Ada pelajaran penting yang aku lalui pada hari-hari itu. Saat terberat dalam penelitian itu adalah saat kami pulang dari Lab Pertamina dengan alat yang rusak, progress yang lambat, dan pikiran yang mumet. Namun, pada saat yang sama Allah memperlihatkan pada kami betapa hidup kami telah jauh lebih lengkap daripada orang-orang di sekitar kami, setidaknya daripada yang tinggal di Pulogadung. Inilah yang membuat kami menelan dalam-dalam keluh kesah dan tetap menegakkan kepala melihat hari depan.

Bulan Februari aku ukir dengan sebuah perjalanan menemukan kotak baru dalam ajang pemilihan Pertukaran Pemuda Antar Negara (PPAN) yang diselenggarakan oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga. Aku mengakhiri ajang itu di peringkat keempat. Pelajaran penting dari ajang itu adalah temukan yang kau cari bukan sekedar yang kau inginkan. Di hari pertama seleksi aku menempati peringkat enam dan berharap tidak lanjut ke hari berikutnya karena aku sadar bukan ini yang aku cari. Banyak dari kontestan yang menurutku lebih prioritas untuk berangkat; bukan aku. Banyak dari mereka yang menurutku memiliki alasan yang begitu dangkal, niat idealis untuk sesuatu yang berharga buat umat dinilai terlalu usang agaknya. Tapi aku lanjut ke hari kedua, pagi itu aku berdoa jangan aku yang terpilih. Doaku terkabul dan yang membuat ku bahagia adalah aku sukses menarikan saman, bermain rekorder, berpantun dan bersajak. Sebuah kebanggaan tersendiri sebagai pemuda yang tak lupa akar negerinya sendiri.

Kepergian Februari membuatku kembali berkutat dengan penelitian sampai akhirnya musibah datang. Laptopku hilang. Data penelitian lebih dari setengah tahun pergi tak berbekas. Beruntung aku telah mengirim berkas penelitianku untuk kompetisi penelitian di Jepang dan beberapa data masih tertulis rapi dalam beberapa lembar kertas. Penelitianku harus lanjut dan pantang berhenti. Terima kasih aku ucapkan untuk yang telah memotivasiku untuk terus bergerak dan terima kasih juga untuk teman liqaku yang telah meminjami ku laptopnya.


Mei hadir dengan tantangan dan berkah yang luar biasa. Aku sidang skripsi. Sebelum ujian aku berharap tidak mendapat penguji yang ahli rekayasa proses dan ahli statistika. Namun, Allah berkehendak lain. Pengujiku adalah ahli rekayasa proses dan ahli statistika. Berhari-hari aku siapkan sidang skripsi itu dengan belajar tiada henti. Sampai akhirnya aku mengisi liqa binaanku di Alhur. Saat itu pesan dari Allah sampai ke hatiku yang seakan menegur diriku melalui ayat yang dibacakan binaanku itu. Ali Imran 160 : Jika Allah menolong kamu, maka tak adalah orang yang dapat mengalahkan kamu; jika Allah membiarkan kamu (tidak memberi pertolongan), maka siapakah gerangan yang dapat menolong kamu (selain) dari Allah sesudah itu? Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakkal. Ayat ini mengingatkanku akan pentingnya kita berserah pada Allah dan tidak bertawakal pada apapun selainnya. Hari sidang pun tiba. Kejutan kembali hadir melalui tantangan dosen pembimbingku dengan sidang dalam Bahasa Inggris. Hampir 3 jam berlalu dengan pertanyaan-pertanyaan yang tajam dan menukik. Tawakal pada Allah memang memberi kekuatan tersendiri. Aku keluar ruangan sidang dengan gelar S.TP dan mahasiswa TIN IPB pertama yang sidang skripsi dalam Bahasa Inggris. Alhamdulillah 🙂

Hari-hari berikutnya juga aku isi dengan menghadiri beberapa seminar dan diskusi dengan rekan-rekan mahasiswa. Aku juga sempat kembali ikut TES TOEFL dan mempersiapkan diri untuk mendaftarkan diri pada program Fullbright walau pada akhirnya email dan surat dari AMINEF hadir dan memberi kabar bahwa bukan tahun ini aku ditakdirkan berangkat. Aku juga menjadi pengisi tetap Studi Pustaka PPSDMS Bogor. Di sana aku berbagi berbagai kisah pendiri negeri dan tokoh muslim di awal kemerdekaan. Berbagi dengan mereka adalah sebuah kebahagiaan.

Bulan Juni aku tandai dengan perjalanan bersama dengan Diah nonton Indonesia Open 2011 dan jalan2 ke Gatot Subroto trus bawa pulang banyak bingkisan. Walau sempat sakit saat ulang tahun tapi Juni jadi bulan yang mengesankan.

Juli hadir dengan cerita wisudaku. Berakhir sudah cerita dalam fase mahasiswa. Aku bayar tunai amanah orang tuaku dengan menjadi sarjana. Berita baiknya lagi Asto, rekan penelitianku, menjadi lulusan terbaik TIN. Juli juga menjadi momen saat aku mulai aktif mencari kerja tuk kejar cita-cita. Hari itu panggilan dari BSM datang tanpa pernah ku melamar kerja ke sana sebelumnya.

Agustus alias Ramadhan tiba membawaku larut dalam pertanyaan-pertanyaan yang membuatku merenung dalam dan bertanya kembali akan apa yang aku cari dan kemana aku akan pergi. Mesjid BI, Al Hurr, Mesjid At Tiin, Mesjid Rumah dan seluruh rangkaian itu membuat Ramadhan tak dapat dilupakan. Oh iya, aku juga sempat buka puasa bersama IELSP dan diundang oleh dubes Amerika untuk buka puasa bersama di rumah dinasnya. Lengkapnya baca di sini

September-Oktober-November-Desember. Janji Allah memang benar; aku mendapat pekerjaan. Aku bekerja untuk BSM; Desk Training; pengembangan program. Yang aku syukuri di tempat baru ini aku bisa menjaga ibadah dan bertemu orang-orang yang tetap bertahan dengan idealisme di tengah pragmatisme dunia pekerjaan.

Bulan-bulan ini aku jalani dengan penuh kesabaran. Aku sadar betul tiap pilihan mengandung resiko yang tak pernah bisa aku pilih. Yang terpenting setelah kita menentukan pilihan adalah berkomitmen dengan pilihan itu. Sulit dan senang pasti datang, tapi yakinlah pertolongan Allah itu dekat bagi mereka yang bertahan dan pantang menyerah. Doaku semoga langkah kita tetap dalam ridha-Nya.

Pada bulan November ini aku berhasil menyelenggarakan BSM Let’s Read di 123 kantor cabang BSM seluruh Indonesia. Acara ini memecahkan Rekor Dunia MURI. Keren kan? hehehe. Semoga upaya ini dapat mencerdaskan kehidupan bangsa. Di bulan Desember aku berhasil menjadi Juara II BSM Public Speaking Contest. ^^ hadiahnya akan aku simpan baik-baik. Aku juga dapat keanggotaan Toastmaster International.

Satu hal yang aku syukuri di tahun ini adalah Allah memberikanku kesempatan untuk mengenal lebih jauh siapa diriku, dekat dengan keluarga, dan binaanku di Bogor. Aku meyakini tahun ini adalah tahun dasar yang semoga dapat menjadi batu loncatan untuk amal-amal yang jauh lebih berkualitas di tahun berikutnya.