Eksistensi Cina di Ohio University


JARUM PANJANG pada arlojiku sedang bergerak mantap menatap angka 12 sedang saudaranya sudah berhenti di angka 1. Tepat 12:55 aku sampai di CTCL building untuk masuk kelas Core yang mengajarkan grammar, writing, dan reading. Jarak yang cukup jauh antara kelas ini dengan dining hall membuatku dan dua rekan Indonesiaku cukup terengah-engah ketika kami duduk mantap di kursi kami masing-masing. Sekilas ku lepaskan pandang. Tak ada yang sawo matang kecuali diriku. Semua putih dan kuning. Anna Wolf, dosen kami tersenyum ramah dengan mata lebarnya, sedangkan 10 mahasiswanya memandang kami dengan segaris mata mereka. Sejenak aku bertanya pada diriku sendiri, “Did I come to the wrong class? Because the rest of the students are Chinese.”

Hari itu adalah hari pertamaku duduk di kelas imersi untuk belajar bahasa Inggris di Ohio University. Wajah-wajah yang ada di belakang meja yang disusun berbentuk huruf U itu sempat membuatku bertanya-tanya apakah ini kelas berbahasa Cina karena selain seorang dosen dan tiga orang mahasiswa Indonesia, mahasiswa yang lain terkadang berhadap-hadap dan bercakap-cakap dengan bahasa yang tidak aku mengerti dan yang aku yakini itu adalah bahasa Mandarin. Setelah kuliah hari itu selesai dan seluruh mahasiswa Indonesia bertemu kembali di dining hall pada saat makan malam, kami baru sadar bahwa kampus ini memang memiliki jumlah mahasiswa berkebangsaan Cina yang cukup banyak. Dari 18 ribu mahasiswa aktif Ohio University sebanyak 2 ribu orang berpaspor negara tirai bambu.

Interaksi kami pun dimulai dan seperti perkenalan yang lain semua berawal dari nama. Setiap mahasiswa Cina di kelasku memiliki nama Amerika yang memudahkan orang lain melafal dan mengingat nama mereka. Nama mereka cukup beragam, mulai dari yang masih beraroma Cina hingga benar-benar American, seperti Cici, Stanley Cai, Ivy, Rain, Element, dan Jason. Mereka memilih nama mereka sendiri dengan alasannya masing-masing. Rain memilih namanya karena ia menyukai nuansa ketika hujan turun, sedangkan Element mengatakan bahwa namanya terdengar keren sehingga ia memilihnya. Stanley Cai bernama asli Song Yi Cai. Ia tidak mengubah seluruh namanya karena menurutnya orang Amerika masih cukup mudah menyebut Cai. Walaupun mereka memiliki nama Amerika, tetapi mereka tetap menggunakan nama asli mereka di dalam kartu mahasiswa dan dokumen akademik lainnya. Terlepas dari beberapa nama yang terdengar janggal, nama-nama itu berhasil membawa mereka masuk ke pergaulan mahasiswa lainnya di Amerika.

Selama kami tinggal di sana, menemukan mahasiswa-mahasiswa Cina bukanlah perkara yang sulit mengingat jumlah mereka yang cukup banyak. Bahkan sekitar 70% dari mahasiswa-mahasiswa di kelas-kelas imersi yang berisi mahasiswa internasional untuk belajar berbahasa Inggris adalah mahasiswa asal Cina. Di beberapa fakultas di Ohio University porsi jumlah mahasiswa Asia khususnya mahasiswa Cina juga cukup banyak terutama di fakultas teknik dan manajemen bisnis. Setidaknya terdapat tiga faktor yang menyebabkan banyaknya mahasiswa Cina di kampus ini, yaitu booming ekonomi Cina dewasa ini, pendidikan yang lebih baik di Amerika dan peluang mendapatkan jodoh.

Faktor utama hadirnya mahasiswa-mahasiswa Cina di kampus ini adalah booming ekonomi Cina dewasa ini. Cici, salah seorang mahasiswi di kelas kami menceritakan bahwa orang tuanyalah yang membiayai kuliahnya di sana. Ayahnya seorang manajer marketing sebuah perusahaan IT ternama di Cina dan ibunya adalah seorang pejabat di salah satu bank. Cici adalah anak tunggal. Orang tua mereka menginginkan pendidikan terbaik untuk putrinya dan mereka memilih Ohio University. Berbeda dengan Cici yang berpunya tapi sederhana, Rain, mahasiswa lainnya di kelas kami dengan terbuka menampilkan kekayaannya. Ia tak pernah sampai ke ruang kuliah tanpa mobil sport miliknya dan dengan kalung emas yang melingkar di lehernya. Orang tuanya tak kalah kaya karena bekerja di salah satu perusahaan retail terbesar di Cina.

Alasan lain mengapa mereka berkuliah di Amerika adalah kualitas pendidikan Amerika yang lebih baik daripada di negeri mereka. Salah seorag conversation partner saya bercerita bahwa ia tidak puas dengan jurusan-jurusan yang tersedia di Cina. Selain itu, ia sadar betul bahwa dengan berkuliah di Amerika tentu saja akan membuka lebih banyak peluang baginya di masa depan terutama dengan kemampuan bahasa Inggris mereka yang meningkat. Ohio University memang bukan kampus yang ternama seperti Harvard, Yale, atau Stanford tapi kampus ini memiliki beberapa jurusan yang sangat baik yaitu jurnalistik dan bisnis.

Selain itu, kampus ini memiliki sejarah yang panjang selama lebih dari 100 tahun dan merupakan salah satu kampus tertua di daerah north west. Setelah kemerdekaan diraih oleh warga Amerika, masalah tidak berakhir begitu saja. Tentara yang pulang dari peperangan tentu tidak punya uang untuk membiayai kehidupan keluarganya. Begitu juga dengan pemerintahan Washington. Pertanian menjadi solusi bagi masalah ini tetapi mereka tidak punya cukup lahan. Sehingga George Washington mengirim orang ke daerah North Western area yang secara natural didiami oleh Indian. Mereka mulai membuat koloni baru dan Ohio menjadi negara bagian pertama yang dituju. Setelah mereka punya lahan, benih, rumah maka hiduplah warga Amerika ini dengan kehidupan keluarga yang baru. Mereka hidup makmur dan memiliki anak yang menyenangkan. Namun, anak mereka mulai tumbuh dan menjadi dewasa. Kebutuhan akan pendidikan tinggi semakin besar. Oleh karena itu didirikanlah Ohio University sebagai jawaban atas masalah tersebut.

Alasan terakhir mengapa banyak mahasiswa Cina berkuliah di Amerika, baru aku ketahui setelah membahas sebuah artikel di modul reading comprehension pada kelas pagi. Artikel itu berjudul ‘Bare Branches’ yang dapat diartikan sebagai cabang yang kosong, gundul atau tak berbuah. Tulisan itu tidak bercerita mengenai tanaman tetapi lebih pada fenomena sosial yang terjadi di Cina. Bare Branches adalah sebuah istilah yang mengacu pada pemuda-pemuda di Cina yang tidak bisa menikah karena jumlah laki-laki yang lebih banyak daripada perempuan. Pada tahun 2000, perbandingan anak laki-laki dan perempuan berusia empat tahun di Cina sebesar 120:100. Hal ini membuat lelaki Cina yang kesulitan untuk mendapatkan istri yang pada akhirnya berdampak sosial bagi masyarakat Cina, yaitu kekerasan, tindak kriminal dan terbentuknya geng-geng.

Saat Alison, dosen kelas pagi kami, membuka forum diskusi anak-anak pria Cina mengakui hal tersebut. Element mengatakan bahwa ia pergi ke Amerika bukan hanya untuk pendidikan tetapi juga pernikahan. Ia ingin menikah dengan wanita Amerika dan mendapatkan lebih dari satu anak. Seperti kita ketahui bahwa pemerintah Cina menerapkan kebijakan satu anak untuk setiap keluarga. Hal ini dilakukan untuk memperlambat laju kelahiran di Cina yang penduduknya saat ini sudah lebih dari 1.3 miliar jiwa. Kenyataan yang ada di kelas kami memang demikian, semua anak Cina di sini adalah anak semata wayang. Oleh karena itu, mereka berharap dengan kehadiran mereka di Amerika dapat mempertemukan mereka dengan jodonya dan mempunyai lebih dari satu anak tanpa khwatir terkena sanksi dari pemerintah seperti yang terjadi di negara mereka.

Walau dalam kondisi yang berbeda dengan koloni-koloni Inggris yang pindah ke Amerika beratus tahun lalu, anak-anak Cina yang saat ini berkuliah di Ohio University memiliki impian yang sama, yaitu kehidupan yang lebih baik di masa depan. Jika melihat semangat belajar mereka, saya yakin mereka tak akan hanya eksis dalam hal jumlah saja. Kesuksesan bagi mereka hanya tinggal menghitung hari seiring usaha mereka yang terkenal pantang menyerah. Bagaimana dengan kita, putra-putri nusantara?

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s