8 Orang Buta


Seperti pekan-pekan sebelumnya aku menghabiskan akhir pekanku di Bogor. Bermalam di asrama PPSDMS dan berpagi hari di kota Bogor lalu beranjak ke stasiun selepas pukul 08.00 WIB. Pagi itu belum menunjukkan pukul 10.00 tapi keretaku sudah sampai di stasiun duren kalibata. Aku bergegas keluar dan mencari kopaja 57 jurusan kampung rambutan.

Sejurus kemudian aku sudah di muka pintu kopaja. Sebelum aku naik melalui pintu depan aku melihat beberapa orang lelaki perempuan yang memakai tongkat saling berpegang pundak sambil berbaris. Aku berdiri di dekat pintu sementara orang-orang tadi berdiri di belakang. Sekilas saat aku tengok ke belakang aku dapati mereka adalah tuna netra.

Sesampainya di pertigaan Hex, aku turun. Seperti biasa kopaja berhenti sekenanya di tengah jalan (benar-benar di tengah jalan). Entah kenapa sopir tidak merelakan satu menit saja untuk menepi. Aku turun melalui pintu depan saat aku dengar keributan di pintu belakang. Ternyata delapan orang buta tadi sedang berbaris kembali dan perlahan turun. Aku kembali ke kopaja dan ku genggam tangan Bapak yang berdiri paling depan. Lima orang dibelakangnya memegang pundak kawan di depannya. Kami melintas jalan menentang kendaraan yang hendak berlalu.

Begitu aku sampai di tepi jalan, ternyata masih ada dua orang buta yang belum menyebrang. Sialnya si kondektur tidak membantu mereka menyeberang. Sebuah sepeda motor melaju begitu cepat sambil membunyikan klakson. Untung saja motor itu bisa menghindari dua orang itu. Mungkin pengendara motor itu tidak sadar jika yang menyeberang itu adalah orang buta yang tidak dapat melihat kehadiran motor itu. Itu pulalah yang mungkin membuat pengendara motor itu membunyikan klakson keras-keras. Aku kembali menyeberang dan membawa mereka ke tepi.

Begitu dua orang itu bergabung dengan enam orang lainnya, salah seorang ibu di kelompok enam orang itu berbicara cerewet sekali tetapi bersyukur dua orang itu selamat. Lalu, aku tanya Bapak yang berdiri paling depan,”Mau kemana, Pak?” Dia menyebutkan alamat yang aku duga bisa ditempuh dengan naik KR. Aku tawari Bapak itu naik KR yang sudah ngetem di sisi jalan. Namun, Bapak itu menolah naik. Ia ingin naik CH saja karena akan lebih memudahkan dia ke alamat tujuan. Saat itu pula ibu-ibu penjual kaki lima mendekat dan bergabung dengan kami. Setelah menungggu beberapa saat angkot yang ditunggu tak kunjung datang lalu aku titipkan delapan orang itu kepada ibu penjual kaki lima tersebut.

Aku melanjutkan perjalanan pulang menuju rumah. Selama dalam perjalanan itu aku merenungi peristiwa yang baru saja aku alami. Aku melihat keberanian luar biasa dari 8 orang buta itu. Walau tidak pernah melihat jalan-jalan ibukota tetapi dia memiliki keberanian yang luar biasa untuk menjelajah dan bepergian dengan segala resikonya. Segala sesuatu bisa terjadi di jalan ibukota yang tak ramah terlebih lagi jika kita tidak bisa melihat. Namun, mereka tidak berdiam diri dengan kekurangannya dan bergerak maju mengambil resiko.

Aku memikirkan bahwa kita sebagai yang diberikan nikmat penglihatan seharusnya lebih dapat maju. Tidak takut mengambil resiko dan mencoba hal-hal baru yang dapat mempertajam diri. Mari maju muda! Kita adalah generasi yang dinantikan! Link

One thought on “8 Orang Buta

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s