Sepeda aku tuntun saat memasuki tanjakan menjelang Kopeng, Desa Kepuharjo. Ini adalah perjalananku pertama kali menuju puncak Merapi. Sudah kurang lebih 20 menit berlalu dari Kaliurang dan aku sudah semakin dekat dengan puncak. Udara dingin pukul 6 pagi itu serasa memberi doping tersendiri seakan menolong betis menghindari asam laktat.
Sesekali lalu lalang anak-anak SD yang berpakaian pramuka menuju sekolah. Sebagian berjalan kaki, yang lain mengendarai motor. Sepanjang perjalanan itu pun aku merenungi sesuai yang mengganjal pikiranku. Pemandangan ini tak biasa. Ya aku jarang sekali melihat remaja tanggung di wilayah ini. Lebih banyak anak-anak kecil dan orang-orang dewasa yang berjalan menuju ladang atau membawa rumput. Lainnya adalah truk-truk batu dan pasir yang sambung menyambung menguras sungai batu dan pasir bekas erupsi.
Aku tak melakukan survei atau wawancara khusus. Ini kesimpulan sementara atau sekedar asumsi. Wilayah merapi adalah wilayah subur yang ideal untuk pertanian. Sebab jarangnya anak muda atau remaja tanggung di tempat ini tentunya bukanlah karena hal itu. Pasti ada sebab lain. Jawaban itu mulai muncul saat aku melewati sebuah SD yang mulai ramai. Dugaanku adalah pendidikan yang menyebabkan wilayah ini sepi dari pemuda.
Seperti banyak terjadi di berbagai wilayah di Indonesia, banyak orang muda yang pergi meninggalkan desa atau kota tempat mereka lahir dan dibesarkan menuju berbagai kota besar, ibukta provinsi, atau tentu saja Ibukota. Arus orang muda ini meninggalkan daerahnya sesungguhnya menyuplai energi baru bagi kota tujuan sekaligus memberi beban tambahan pada bumi di kota tersebut. Di sisi lain, perpindahan itu membuat daerah asal menjadi sepi, lesu, dan sepi seperti wilayah ini. Kekurangan darah dan pucat.
Menjadi ironi memang. Pendidikan yang seharusnya menyejahterakan justru membuat keterbelakangan menjadi lebih ngilu karena sepi. Namun, marilah berbaik sangka bahwa mereka yang pergi akan kembali ke kampung halamannya dan membawa perubahan. Sampai akhirnya kita kembali ke Ibukota dan menyadari bahwa penduduk asli Jakarta (Betawi) telah menepi ke pinggir Ibukota. Mereka yang sibuk di jantung Ibukota adalah mereka yang merantau, yang meninggalkan daerahnya dalam kesunyian.
Sayangnya mereka yang menempuh pendidikan di Ibukota atau kota-kota besar lainnya tidak meninggalkan kota tempat lahirnya itu. Jadilah kue ibukota yang besar itu dibagi-bagi kepada jutaan orang yang tumpah ruah di sini. Inilah agaknya masalah kependudukan di rumah Bang Pitung yang menjadi akar dari semrawutnya Jakarta. Harusnya kue besar ini dibagi ke daerah lain sehingga. Desa Kepuharjo ini tidak selengang ini dan ibukota ini sedikit saja lebih longgar. Sesaknya sudah mengusik rongga dada. Untungnya aku masih di lereng merapi. *udara segar menyusup bronkus menuju alveoli*
aku memilih tinggal di desa malah meski asli Jakarta. Jakarta sudah terlalu sumpek. Sayang kalau generasi kita malah memilih memabngun Jakarta 🙂