3 Kabar 1 Pekan

Pekan ini ada 3 kabar special untukku 2 kabar baik 1 tidak begitu baik.

1 kabar yang tidak begitu baik adalah my aussie application was denied. Ini adalah entah yang kesekian kalinya aku gagal dalam seleksi beasiswa. Jadi rasa gagalnya udah makin hambar hehehe tapi tetep aja kecewa dikit :p

1 kabar baik adalah email dari Bu Endang yang menyatakan bahwa penelitianku berhasil masuk ke dalam Jurnal Teknik Kimia Indonesia (JTKI) judulnya Physical Characteristics of Biodegradable Foam from Mixed Hominy Feed and Cassava Starch. Terdengar ilmiah khan hehehe :p

1 kabar baik lainnya aku bawa pulang naik motor malem-malem membelah jalan ibukota 🙂

Stepping Stone 2011

Tahun 2011 tinggal menyisakan beberapa jam saja. Sudah saatnya kita berhenti sejenak untuk melihat apa yang telah kita kerjakan selama setahun lewat dan memastikan diri atas apa yang akan kita kejar di tahun menjelang. Berikut ini adalah kilas balik yang terjadi dalam hidupku setahun terakhir. Ini sekedar live journal bagi diriku pribadi, jika ada yang bermanfaat bagi pembaca aku bersyukur untuk itu.

Bulan Januari lebih banyak aku habiskan di laboratorium baik Lab Polimer Pertamina maupun Lab TIN. Ada pelajaran penting yang aku lalui pada hari-hari itu. Saat terberat dalam penelitian itu adalah saat kami pulang dari Lab Pertamina dengan alat yang rusak, progress yang lambat, dan pikiran yang mumet. Namun, pada saat yang sama Allah memperlihatkan pada kami betapa hidup kami telah jauh lebih lengkap daripada orang-orang di sekitar kami, setidaknya daripada yang tinggal di Pulogadung. Inilah yang membuat kami menelan dalam-dalam keluh kesah dan tetap menegakkan kepala melihat hari depan.

Bulan Februari aku ukir dengan sebuah perjalanan menemukan kotak baru dalam ajang pemilihan Pertukaran Pemuda Antar Negara (PPAN) yang diselenggarakan oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga. Aku mengakhiri ajang itu di peringkat keempat. Pelajaran penting dari ajang itu adalah temukan yang kau cari bukan sekedar yang kau inginkan. Di hari pertama seleksi aku menempati peringkat enam dan berharap tidak lanjut ke hari berikutnya karena aku sadar bukan ini yang aku cari. Banyak dari kontestan yang menurutku lebih prioritas untuk berangkat; bukan aku. Banyak dari mereka yang menurutku memiliki alasan yang begitu dangkal, niat idealis untuk sesuatu yang berharga buat umat dinilai terlalu usang agaknya. Tapi aku lanjut ke hari kedua, pagi itu aku berdoa jangan aku yang terpilih. Doaku terkabul dan yang membuat ku bahagia adalah aku sukses menarikan saman, bermain rekorder, berpantun dan bersajak. Sebuah kebanggaan tersendiri sebagai pemuda yang tak lupa akar negerinya sendiri.

Kepergian Februari membuatku kembali berkutat dengan penelitian sampai akhirnya musibah datang. Laptopku hilang. Data penelitian lebih dari setengah tahun pergi tak berbekas. Beruntung aku telah mengirim berkas penelitianku untuk kompetisi penelitian di Jepang dan beberapa data masih tertulis rapi dalam beberapa lembar kertas. Penelitianku harus lanjut dan pantang berhenti. Terima kasih aku ucapkan untuk yang telah memotivasiku untuk terus bergerak dan terima kasih juga untuk teman liqaku yang telah meminjami ku laptopnya.


Mei hadir dengan tantangan dan berkah yang luar biasa. Aku sidang skripsi. Sebelum ujian aku berharap tidak mendapat penguji yang ahli rekayasa proses dan ahli statistika. Namun, Allah berkehendak lain. Pengujiku adalah ahli rekayasa proses dan ahli statistika. Berhari-hari aku siapkan sidang skripsi itu dengan belajar tiada henti. Sampai akhirnya aku mengisi liqa binaanku di Alhur. Saat itu pesan dari Allah sampai ke hatiku yang seakan menegur diriku melalui ayat yang dibacakan binaanku itu. Ali Imran 160 : Jika Allah menolong kamu, maka tak adalah orang yang dapat mengalahkan kamu; jika Allah membiarkan kamu (tidak memberi pertolongan), maka siapakah gerangan yang dapat menolong kamu (selain) dari Allah sesudah itu? Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakkal. Ayat ini mengingatkanku akan pentingnya kita berserah pada Allah dan tidak bertawakal pada apapun selainnya. Hari sidang pun tiba. Kejutan kembali hadir melalui tantangan dosen pembimbingku dengan sidang dalam Bahasa Inggris. Hampir 3 jam berlalu dengan pertanyaan-pertanyaan yang tajam dan menukik. Tawakal pada Allah memang memberi kekuatan tersendiri. Aku keluar ruangan sidang dengan gelar S.TP dan mahasiswa TIN IPB pertama yang sidang skripsi dalam Bahasa Inggris. Alhamdulillah 🙂

Hari-hari berikutnya juga aku isi dengan menghadiri beberapa seminar dan diskusi dengan rekan-rekan mahasiswa. Aku juga sempat kembali ikut TES TOEFL dan mempersiapkan diri untuk mendaftarkan diri pada program Fullbright walau pada akhirnya email dan surat dari AMINEF hadir dan memberi kabar bahwa bukan tahun ini aku ditakdirkan berangkat. Aku juga menjadi pengisi tetap Studi Pustaka PPSDMS Bogor. Di sana aku berbagi berbagai kisah pendiri negeri dan tokoh muslim di awal kemerdekaan. Berbagi dengan mereka adalah sebuah kebahagiaan.

Bulan Juni aku tandai dengan perjalanan bersama dengan Diah nonton Indonesia Open 2011 dan jalan2 ke Gatot Subroto trus bawa pulang banyak bingkisan. Walau sempat sakit saat ulang tahun tapi Juni jadi bulan yang mengesankan.

Juli hadir dengan cerita wisudaku. Berakhir sudah cerita dalam fase mahasiswa. Aku bayar tunai amanah orang tuaku dengan menjadi sarjana. Berita baiknya lagi Asto, rekan penelitianku, menjadi lulusan terbaik TIN. Juli juga menjadi momen saat aku mulai aktif mencari kerja tuk kejar cita-cita. Hari itu panggilan dari BSM datang tanpa pernah ku melamar kerja ke sana sebelumnya.

Agustus alias Ramadhan tiba membawaku larut dalam pertanyaan-pertanyaan yang membuatku merenung dalam dan bertanya kembali akan apa yang aku cari dan kemana aku akan pergi. Mesjid BI, Al Hurr, Mesjid At Tiin, Mesjid Rumah dan seluruh rangkaian itu membuat Ramadhan tak dapat dilupakan. Oh iya, aku juga sempat buka puasa bersama IELSP dan diundang oleh dubes Amerika untuk buka puasa bersama di rumah dinasnya. Lengkapnya baca di sini

September-Oktober-November-Desember. Janji Allah memang benar; aku mendapat pekerjaan. Aku bekerja untuk BSM; Desk Training; pengembangan program. Yang aku syukuri di tempat baru ini aku bisa menjaga ibadah dan bertemu orang-orang yang tetap bertahan dengan idealisme di tengah pragmatisme dunia pekerjaan.

Bulan-bulan ini aku jalani dengan penuh kesabaran. Aku sadar betul tiap pilihan mengandung resiko yang tak pernah bisa aku pilih. Yang terpenting setelah kita menentukan pilihan adalah berkomitmen dengan pilihan itu. Sulit dan senang pasti datang, tapi yakinlah pertolongan Allah itu dekat bagi mereka yang bertahan dan pantang menyerah. Doaku semoga langkah kita tetap dalam ridha-Nya.

Pada bulan November ini aku berhasil menyelenggarakan BSM Let’s Read di 123 kantor cabang BSM seluruh Indonesia. Acara ini memecahkan Rekor Dunia MURI. Keren kan? hehehe. Semoga upaya ini dapat mencerdaskan kehidupan bangsa. Di bulan Desember aku berhasil menjadi Juara II BSM Public Speaking Contest. ^^ hadiahnya akan aku simpan baik-baik. Aku juga dapat keanggotaan Toastmaster International.

Satu hal yang aku syukuri di tahun ini adalah Allah memberikanku kesempatan untuk mengenal lebih jauh siapa diriku, dekat dengan keluarga, dan binaanku di Bogor. Aku meyakini tahun ini adalah tahun dasar yang semoga dapat menjadi batu loncatan untuk amal-amal yang jauh lebih berkualitas di tahun berikutnya.

Commitment

Aku teringat pada sebuah wawancara kerja yang aku jalani sebelum mendapatkan pekerjaanku saat ini. Setelah menyisihkan ratusan pelamar akhirnya aku masuk ke tahap wawancara yang menyisakan 30 orang saja. Wawancara itu berlangsung dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Menjelang wawancara berakhir, Ibu HRD bertanya, “what value that can help you to get what you have achieved today?” I answered,”commitment”. When I commited to something I’ll give my best effort, performance and anything that I have to accomplish what I’ve promised. When I am in the class, I study. I cut any other option to do, only study. But when I do my other activity, I cut other option that can bother me. Ibu HRD itu mengangguk-angguk lalu membuat catatan kecil di kertasnya. Beberapa pekan berikutnya aku dihubungi mereka kembali, aku lolos ke tahap berikutnya.

Teman-teman sekalian, kita perlu sadari setiap manusia memiliki kelebihan dan kekurangan. Ubahlah kekuranganmu sejauh yang kau bisa dan bersabarlah pada kekurangan yang tak bisa engkau ubah (given from God). Lalu jangan berhenti dan berendah diri apalagi meratapi nasib. Allah pasti juga membekali kita dengan kelebihan. Temukan kelebihanmu dan asahlah terus hingga menjadi sesuatu yang bisa kau andalkan baik untuk dirimu terlebih lagi bermanfaat bagi orang-orang di sekitarmu.

Yang sering terjadi mungkin adalah kita tidak bersabar pada kekurangan kita dan tidak berkomitmen pada apa yang Allah lebihkan pada diri kita. Perlu diketahui bahwa sebelum menjuarai Tour d France, Lance Amstrong divonis kanker. Ia bersabar dengan apa yang ditakdirkan Tuhan dan fokus pada keahliannya bersepeda. Ia berkomitmen pada latihannya hingga akhirnya menjadi juara Tour d France selama 7 tahun. Alfa Edison kecil juga disebut autis oleh tetangganya. Ibunya dengan sabar memberinya pelajaran sekolah karena sekolah umum tak menerimanya. Dengan kerja keras dan komitmen yang kuat, saat ini dia adalah salah seorang ilmuwan dengan jumlah paten terbanyak. Lionel Messi juga divonis mengalami gangguan hormon pertumbuhan, tapi saat ini pada usia yang belum genap 24 tahun dia berhasil menjadi pemain terbaik di dunia dengan tubuh mungilnya itu.

Membuat keputusan
Tidak banyak orang yang berani bermimpi. Dari sejumlah orang yang berani berani bermimpi tersebut tidak banyak yang berani menjalani proses yang melekat dengan pilihan mimpi tersebut. Mereka tak pernah benar-benar membuat keputusan. Dalam bahasa Inggris keputusan berarti decision. Decision berasal dari bahasa latin yang terdiri dari dua akar kata yaitu de yang berarti dari dan caedere yang berarti memotong. Anthony Robbins menyebut bahwa making a true decision means commiting to achieving a result and then cutting yourself off from any other possibility. Sederhananya saat kita membuat keputusan kita tidak sekedar memilih sebuah tindakan tetapi juga mengahapus pilihan-pilihan lain yang tersedia. Setelah membuat keputusan berkomitmenlah pada keputusan dan resiko yang melekat bersama keputusan tersebut. Karena komitmen tak hanya berarti perjanjian tapi juga bermakna tanggung jawab maka bersiaplah dengan segala proses yang membersamai keputusanmu. Yakinlah dengan proses yang kau jalani! Selama niatmu karena Allah maka percayalah akan janji dan pertolongan Allah yang pasti datang.

Tentang keputusan dan komitmen ini aku punya pengalaman tersendiri. Kala itu aku ‘dilamar’ untuk menjadi ketua BEM Fateta. Hari-hari itu pada tahun 2008 begitu berat bagiku. Saat itu ayah sudah berada di Aceh dan ekonomi keluargaku tak lagi stabil semenjak krisis ekonomi global yang membuat investasi ayah jatuh hingga hampir setengahnya. Saat diminta untuk maju menjadi ketua BEM aku begitu gundah. Yang aku sadari bahwa hari itu aku bukanlah seseorang yang direncanakan untuk menjadi Ketua BEM. Saat itu sudah malam saat aku terduduk sendiri di depan GWW dan memikirkan segala yang terjadi hari-hari itu. Begitu sedih dan berat rasanya. Terlebih aku tahu betul resiko dan tanggung jawab yang mesti aku emban dengan posisi tersebut. Akhirnya aku membuat keputusan: aku maju. Setelah melalui perjuangan yang tidak ringan tim kami menang. Aku diamanahi menjadi ketua BEM F.

Keputusan itu membawaku kepada perjalanan yang tak mudah selama setahun berikutnya tapi aku telah berkomitmen pada apa yang telah aku putuskan. Aku bersyukur akan komitmen itu karena hal itu yang memberi aku energi untuk mendatangi setiap kelas hanya untuk memberi informasi bahwa air mati karena alasan ini dan itu, menemui wakil dekan, dekan, bahkan rektor untuk menyampaikan keberatan mahasiswa akan naiknya SPP, juga menguatkan diriku saat ditolak dan dimarahi salah seorang dosen saat aku hendak membantu menyelesaikan masalah salah seorang mahasiswa yang begitu pelik. Menjelang masa jabatanku aku sungguh malu saat harus meminjam orang tuaku untuk membantu keuangan BEM yang sekarat. Mereka memberi pinjaman dan BEM kembali berjalan dengan berbagai program. Kami berhasil menolong mahasiswa-mahasiswa yang tak sanggup membayar SPP, mengayomi mereka yang dulu jauh dari BEM, memperbaiki mushola, menjalankan beragam program peningkatan softskill, dan beragam program lainnya. Sungguh pengalaman-pengalaman itu sungguh berharga. Saat aku berada diakhir masa jabatanku aku sadar masih banyak kekurangan yang terjadi tapi secara pribadi aku puas dengan apa yang telah kami raih. Hanya kepada Allah saja aku bertawakal setelah apa yang telah kami usahakan.

Masih ingatkah teman-teman akan kisah Rasulullah saat ditawari menjadi raja, diberi kekayaan terbesar dan hendak dinikahkan dengan perempuan tercantik di antara suku Quraisy. Dengan mantap Nabi menjawab,”Meskipun mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan ditangan kiriku, agar aku meninggalkan seruanku. Sungguh, sampai mati pun tidak akan kutinggalkan !” Jujur saja aku merinding mendengar jawaban ini. Tapi itu bukan sekedar jawaban itulah keputusan Nabi pada tugas dakwah yang diembannya. Komitmennya pada dakwah akhirnya mampu mengubah jazirah Arab sebagai pusat peradaban dunia dengan Islam sebagai satu-satunya syariah.

Saya ingin membawa bahasan ini pada hal aspek yang lebih kontemporer. Saat masih di Amerika aku melihat fakta tingginya perceraian di sana. Jangankan di Amerika, di Indonesia pun banyak artis yang bercerai. Mengenai hal ini aku menduga bukanlah uang, kecantikan/ketampanan yang menjadi masalah. Mungkin lebih kepada komitmen dan niat mereka untuk menikah. Pekan lalu saat sowan ke asrama PPSDMS aku membaca tugas seorang anak asrama yang menyatakan bahwa setidaknya terdapat tiga pondasi dalam rumah tangga yaitu, cinta, respek, dan komitmen. We need more than love to bring the family to surive. We also need respect and commitment.

Semoga kita semua bisa mengambil hikmah dari cerita yang aku tulis malam ini. Jaga dirimu baik-baik 🙂

Dalam 24 Tahun Kebersamaan Kami

“aku terlahir ketika perang Pasifik tengah berkecamuk”

Begitulah kira2 Soe Hok Gie mengawali buku hariannya. Setidaknya itu yang masih teringat di kepalaku kini setelah membaca catatan harian seorang demonstran saat masih SMA dahulu. Posting ini bukan bermaksud menduplikasi apa yang telah dilakukannya tapi lebih sebagai refleksi diri akan setiap langkah yang telah aku lalui bersama keluargaku. Yang aku yakini bahwa setiap keberhasilan selalu berawal dari keluarga dan keluarga khususnya ayah dan ibuku yang menjadi tokoh paling berjasa dalam hidupku. Sebagai permulaan terlebih dahulu aku bersyukur pada Allah atas dua malaikat yang telah Allah kirim untukku yang menemani tiap tangis dan demamku, membimbing dengan sabar pada tiap keluh dan amarahku, dan memelukku erat saat malam-malam gelap yang begitu pekat. Terima kasih ayah dan bunda…

Ibu datang merantau ke Jakarta hanya berbekal ijazah SMIP Pacitan. Sesampainya di Jakarta, tempat tanpa sanak saudara, ia bekerja di sebuah pabrik sebagai seorang supervisor yang tak punya kecakapan yang mumpuni. Namun, perjuangannya dimulai jauh sebelum itu. Ibu adalah sosok yang haus akan pendidikan di lingkungan yang memandang pendidikan adalah barang mahal dan tak tentu arahnya. Maklum saja, Pacitan adalah daerah berkelok-bergunung di Jawa Timur yang hingga kini saja masih berantakan jalannya. Bisa dibayangkan betapa sulitnya ke sana 50 tahun yang lalu. Mbahku tak mengizinkannya sekolah tapi ia sudah bulat akan pilihannya. Ia bersekolah sendiri biar sesekali dimarahi ibunya sendiri. Selulus SD ia tak berhenti ia teruskan hingga SMP dan SMIP di Kota Pacitan. Saat bersekolah di SMIP ia menumpang di rumah alm Pak Bandoyo, seorang yang nantinya menjadi penghubung antara ayah dan ibu saat mereka menikah.

Selesai dari SMIP ia merantau ke Jakarta. Tujuan cuma satu: Kuliah. Ketiadaan biaya membuatnya harus bekerja untuk membiayai hidupnya. Bekerjalah ia di sebuah pabrik dengan jabatan supervisor yang telah aku sebut tadi. Setiap istirahat tiba ia selalu menangis karena tak kunjung bisa berkuliah tapi bara semangatnya tak pernah padam untuk berkuliah. Suatu saat ia berkenalan dengan teman satu pabriknya yang punya kenalan untuk mendaftar di PGSMTP sebuah program satu tahun untuk mengajar sebagai guru. Singkat cerita ia lolos dan dapat menuntut ilmu di sana dengan beasiswa dari salah seorang kenalan di Departemen Agama. Rencana kuliahnya pun berlanjut, IKIP Muhammadiyah. Tapi niat itu tertunda karena ia bertemu dengan pria yang kemudian disebut sebagai suaminya setelah mereka menikah 24 tahun yang lalu. Ayah berjanji saat itu untuk membiayai kuliah mamah sampai selesai. Padahal mereka sama-sama tahu bahwa itu bukan perkara yang mudah saja.

Lain ibu, ayah memulai perjuangannya di tengah kota Semarang. Jika kau ingin tahu ia adalah penarik air kampung Slamet, di daerah Mataram. Tak heran setiap aku pulang kampung ke rumah Mbah Semarang ayah selalu disapa ramah oleh tukang becak, tukang air dorong, tukang kaki lima dan lain. Mereka memang sudah kawan lama. Jika luang ayah menemani Mbah Kakung untuk narik angkot. Alm Mbahku adalah supir angkot. Ia lebih beruntung dari Ibu karena bisa bersekolah lebih leluasa dan kesempatan itu tak pernah disiakannya. Ia berusaha keras sehingga menjadi salah satu yang terbaik di kelasnya. Selepas lulus SMA ia mendaftar ke Telkom dan TNI AU dan nasib membawanya ke Jakarta sebagai seorang tentara untuk menemui pasangannya hingga surga (Insya Allah).

Mereka pun akhirya menikah 24 tahun lalu dalam kondisi yang amat terbatas atau lebih tepatnya pas-pasan. “Kamu tahu nak? Dulu ayah menikah saat penghasilan ayah cuma 80ribu sebulan” jelas ayah padaku. “Dulu kami cuma makan nasi pake sambal dan tahu nak” cerita Ibu padaku. Aku bukan tidak tahu, aku pun sempat merasakan masa-masa pahit itu. Dahulu kami tinggal di Tanjung Priok, lebih tepatnya di Warakas. Terkadang aku main ke atas kapal sambil disuapi Ibu. Saat air pasang rumah kami pasti kebanjiran. Jika sudah banjir maka got yang hitam akan luber sampai ke dalam rumah dan tugasku cuma satu ikut bantu membersihkan halaman rumah. Terkadang saat aku terbangun dari tidur aku berada ditengah genangan air yang menggenangi ruangan yang berantakan. Suatu hari aku pernah tercebur ke dalam got yang penuh kotoran itu rupanya hitam sekali saat aku bermain jual-julan koran. Tangisku tak keruan. Ibu memandikanku kemudian. Tak perlu aku jelaskan lebih lanjut tapi yang jelas sanitasi di sana buruk sekali. Sampai-sampai tangan kiriku pernah korengan yang membuatku tak bisa menggenggam dengan tangan kiri. Rumah itu kini telah tiada berubah menjadi jalan tol yang berdiri setelah penggusuran. Namun, rumah itu yang menjadi saksi bahagianya kedua malaikatku yang bahagia melihat putranya bisa berdiri dan berjalan bahkan terus berlari.

Sudah agak besar aku masih ingat bahwa aku sering menjemput ayah yang pulang dari kantornya. Aku juga terkadang menemani ayah menukar beras jatah TNI dengan beras yang lebih sedikit jumlahnya tapi lebih pulen. Mengingat gajinya yang tidak seberapa, ayah menjaga bioskop sepulang kantor. Saat ibuku kuliah, ia cuma berbekal 500 rupiah. 400 rupiah untuk ongkos 100 rupiah ditabung. Suatu hari ibu nemu uang 100 rupiah di bus kota, ia senang sekali karena bisa membeli air minum dengan uang itu, maklum saja ia tak pernah jajan selama kuliah. Sepulang kuliah Ibuku mengajar di sebuah SMP. Suatu hari saat hamil besar ia terjatuh karena keletihan. Ibuku juga masih fasih menceritakan bagaimana paniknya ayah membawa ibu masuk ke rumah sakit Gatot Subroto untuk melahirkanku ke dunia.

Saat aku menjelang berusia 4 tahun, kami pindah ke Halim. Aku masih ingat saat ayah mengecat rumah ini untuk pertama kalinya. Tanganku masih korengan hari itu. Kehidupan kami berangsur membaik hari-hari itu. Saat itu belum ada mal di dekat rumah. Setiap bulan aku dan ayah menggowes sepeda untuk berbelanja di toko Cina. Momen itu masih jelas teringat di memoriku. Oiya, suatu hari saat masih di Priok, ayah pernah menyuapiku bubur ayam di pinggir rel kereta sambil melihat anak-anak lain yang main layang-layangan. Saat kereta melintas kami menyingkir dari rel untuk sesaat. Momen itu masih jelas sekali dan begitu indah.

Tahun 1995 ibuku lulus sebagai Sarjana Pendidikan IKIP Muhammadiyah. Hari itu aku izin dari sekolah untuk datang ke wisuda Ibu. Aku diantar tanteku menuju lokasi wisuda. Tapi kami tak pernah sampai ke wisuda itu, langkah kami tertahan di Kampung Rambutan karena bus tak kunjung datang hingga hari siang. Rumah ini pun juga berubah sesaat demi sesaat. Aku bisa bersekolah di tempat yang baik dan kompetitif. Saat aku sakit kedua malaikatku sungguh panik karena aku jarang sekali sakit. Tak pernah habis kasih sayang mereka. Ayah suka mengajak aku shalat malam saat aku masih mengantuk di tengah malam.

Sungguh banyak rizki yang telah Allah beri kepada kami. Sebuah motor, TV, komputer dan kasur yang nyaman bersama kehangatan keluarga berlimpah di rumahku. “Sekarang kau bisa bercerita soal Amerika nak” lirih ucap Ibu padaku. Thanks Mom ^^ I love you so much. Kita telah hadapi banyak hal bersama pahit getir ini. Mengingat semua memori itu, tak perlu ada ragu dan takut dalam hati yang menghampiri tuk hadapai hari depan. Yang mesti kita takuti adalah sebuah pertanyaan: adakah kita sudah bersyukur atas segala anugerah dan keselamatan yang telah Allah beri kepada kami? “Ampuni kami ya Rabb, atas segala kelalaian kami dari mengingat-Mu atas kekhilafan kami untuk bersyukur atas segala nikmat dari-Mu. Pada 24 tahun kebersamaan kami, aku mohonkan doa Ya Rabb, kasihilah kedua orangku sebagaimana mereka mengasihi aku sewaktu aku kecil.

Terima kasih Ibu dan Ayah atas segala yang telah kau beri padaku. Kini kau berikan jalan bagiku untuk menapaki hidupku sendiri. Iringilah terus aku dalam doa-doa malam kalian dan semoga Allah terus mengasihi dan memberkahi kita semua 🙂

When I deactivated my Facebook Account


Sudah lebih dari seminggu aku mendeaktivasi akun Facebook milikku. Ada alasan tersendiri untuk itu dan ada respon tentunya dari orang lain atas penonaktifan akun saya itu walaupun lebih banyak yang tidak peduli hehehe. Pada posting ini saya akan berbagi respon kawan-kawan saya itu. Lucu dan unik2 hehehe. Cekidot!

Percakapan #1 (twitter)
A : Hei B fyi ya agan @rswandaru sudah out off Facebook
B : ya gak apa2 asalkan memang ada tujuan yang jelas
saya: Hei agan @A asal tahu aja ya si @B juga pernah deactivate fB-nya hehehe
dari percakapan ini B cenderung tidak mempermasalahkan penonaktifan FB saya asalkan saya tahu jelas alasannya untuk apa dan bukan sekedar cari sensasi (untuk hal yang satu ini saya setuju dengan B). Beliau juga pernah deactivate atau delete akun fBnya untuk alasan yang cukup idealis.

Percakapan #2 (sms)
temen #1 : Hi friend, are u okay? You out off facebook.
saya : I’m okay. I’ll be back soon.
temen : ok.
awal yang baik dengan pertanyaan tentang kondisi saya hehehe. Gak langsung tembak apa lagi marah-marah hahahah =D

Percakapan #3 (sms)
temen #2 : Randi, kamu unfriend aku ya dari friendlistmu? *rada emosi (hehehe)
saya : gak kok, justru saya yang deactivate akun saya
temen #2 : kenapa kamu deactivate facebook?
saya : cuma pengen ngebuktiin bahwa saya bisa hidup tanpa fB aja kok.
temen #2 : trus gimana hasilnya?
saya : ternyata saya bisa *horee dengan nada gembira
temen #2 : kalo udah tahu bisa trus kenapa gak balik lagi ke fB *dengan nada tidak terima
saya : iya, nanti saya balik lagi ke fB, ini juga baru sebentar

Percakapan #4 (sms)
temen #3 : randi kamu off ya dari facebook?
saya : iya
temen #3 : why?
saya : hmmm kasih tahu gak ya?? hehehe *pake nada ngeledek
temen #3 : pasti ada alasannya khan? gak boleh tahu ya? 😦
saya : alasan normatifnya bwat menjaga hati khan udah mau ramadhan
temen #3 : apa hubungannya ramadhan sama fB
saya : biar kita gak kecanduan aja sama fB
temen #3 : emang lo udah mulai kecanduan ya?
saya : gak juga sih, cuma gak mau lebih banyak waktu aja tersita oleh fB
temen #3 : tapi emang dengan cara deactivate fB itu tepat ya?
saya : gak juga sih, ini khan cuma cara aja
temen #3 : semoga tujuan lo tercapai ya dengan deactivate fB itu
saya : minta pendapat donk soal penonaktifan fB gw!
temen #3 : sebenernya lo gak perlu deactivate fB lo, karena dengan lo gak aktif di fB lo gak bisa tahu kabar temen2 lo yang jauh tempatnya, termasuk kabar gw wkwkwkwk *dengan nada becanda
saya : gw ngerti kok dan gw punya alasan yang cukup mendasar sehingga gw merelakan koneksi gw sama beberapa temen putus untuk sementara waktu. I’ll be back soon when I’m ready.

Percakapan #5 (twitter)
saya : I’m not on facebook for a while
A : kenapa kak @rswandaru
saya : biar hemat @A
A : emang twitteran lebih hemat ya? @rswandaru
saya : setidaknya gak running dua-duanya lebih hemat hehehe @A

Percakapan #6 (face to face)
saya : gimana jadi ngirim gak proposal TA bwat dapat dana penelitian? *sebelumnya saya nulis link di wall temen #4
temen #4 : ilang linknya, lo apus ya?
saya : kagak, tapi gw emang lagi deactivate fB?
temen #4 : kenapa?
saya : dua bulan lagi udah ramadhan boi, persiapan kita
temen #4 : widih

Percakapan #7 (sms)
temen #5 : randi kalo mau dateng kita lagi gathering di vila di Bogor
saya : saya lag di jakarta, gak dapet inpohnya euy, rame teu?
temen #5 : infonya ada di fB
saya : wah gw deactivate fB
temen #5 : oh lo deactivate fB yaudah kalo mau dateng buruan ya kita baru mulai
saya : salam ya bwat temen2, miss u all guys

Terlepas dari apapun respon dari temen2 smua saya ucapkan terima kasih atas perhatian kalian (walau lebih banyak yang gak peduli atau gak ngeh hehehe). Saya mohon maaf jika silahturahmi kita jadi terputus. Namun, yang saya sadari bahwa akun fB hanya sekedar cara bukan tujuan. Jangan sampai kita cuma berkawan di dunia maya dan lupa pada silahturahmi yang sesungguhnya. Lebih parah lagi jangan sampai kita jadi tidak berteman atau malah bermusuhan karena tidak bisa saling mengakses akun fB. Sekali lagi akun fB hanyalah cara bukan tujuan. Boleh jadi kalo cara ini sudah tidak relevan kita akan meninggalkannya bersama-sama. Apapun alasan saya untuk mendeaktifasi fB, saya mohon maklum untuk itu dan tolong dipahami sebagaimana saya menghormati respon kawan-kawan semua atas tindakan saya ini. Akhirnya mari tersenyum atas nafas yang masih kita hela dalam dekapan ukhuwah :).

yang ku dapatkan setahun terakhir

Sejak terdaftar menjadi mahasiswa IPB aku telah mempelajari dan mendapatkan banyak hal. Pada tingkat pertama hingga tingkat empat aku aktif di berbagai organisasi baik di dalam maupun di luar kampus. Puncak karir organisasiku adalah saat aku menjadi Pemimpin Redaksi Koran Kampus dan Ketua BEM FATETA IPB. Aku juga aktif mengikuti berbagai perlombaan sejak akhir tingkat pertama yang akhirnya memperjalankanku ke berbagai kota di Indonesia dan beberapa di mancanegara. Prestasi yang paling membanggakan adalah saat aku bisa berkuliah di Ohio University dan meraih medali Perak di PIMNAS Bali 2010. Namun, ada yang tidak kudapatkan selama empat tahun itu, yaitu kenikmatan dan kesungguhan dalam membina. Hal itu baru aku dapatkan di tingkat kelima.

Sepulang dari Amerika dan Bali, aku sadar betul bahwa langkah ku selanjutnya adalah menyebarkan pengalamanku kepada adik-adik mahasiswa yang lain dan membina sebanyak mungkin mahasiswa sehingga mereka dapat menemukan “their own voice” dan menjadi sesuatu yang mereka mimpikan. Secara sistematis aku bersama rekan2 43 yang memiliki visi sama menjalankan sekolah Mapres (mahasiswa berprestasi). Cukup banyak mahasiswa yang bergabung pada waktu itu dan beberapa di antara mereka kini telah menjadi Mapres atau setidaknya menjadi juara di berbagai kompetisi. Tak sampai di sana, kami juga menggelar training persiapan pasca kampus. Sambutannya luar biasa sehingga sekarang setidaknya training itu bisa membekali mereka yang hendak berkarir.

Di beberapa kesempatan saya juga sempat diundang oleh beberapa organisasi di dalam kampus, beberapa kampus lain, dan organisasi non profit di Jakarta untuk menjadi pembicara atau sekedar menjadi moderator dalam berbagai diskusi dan seminar. Dalam berbagai kesempatan tersebut saya sampaikan bahwa kita sebagai pemuda Indonesia tidak kalah dengan pemuda asing di belahan bumi yang lain dan kita memiliki potensi yang luar biasa untuk maju. Satu hal yang menghijab kita dengan kesuksesan boleh jadi adalah ikhtiar kita yang belum optimal dan sungguh-sungguh.

Sekarang saya membina dua kelompok halaqah. Belakangan aktivitas ini makin menyita perhatian dan semakin menyenangkan. Entah kenapa ada kerinduan melihat wajah-wajah mereka, ada semangat untuk terus belajar menghadapi pertanyaan mereka, ada kelegaan mendengar keluhan mereka, dan ada kegembiraan luar biasa melihat mereka berhasil. Kini di ujung waktuku di kampus ini rasanya Allah memberikan kesempatan yang begitu berharga untuk membina dalam waktu satu tahun terakhir. Semoga kita tetap semangat dalam membina, kawan-kawan. Ingat bahwa perjuangan kita bukan untuk satu dua hari, atau 10-20 tahun. Perjuangan kita melewati batas cakrawala, menembus waktu hingga mungkin ratusan atau ribuan tahun ke depan. Untuk itu kehadiran generasi penerus harus tetap terjamin keberlanjutannya dan pembinaan adalah jawaban satu-satunya. Biar hanya sebutir debu pastikan ada perana kita dalam upaya membangun peradaban ini menjadi lebih baik dan bermartabat. Jangan biarkan darah yang mengalir ini hanya sia-sia menjadi penonton saja.

The Biostyrofoam Journey


Mengawali posting ini aku teringat pertanyaan pertama yang diajukan penguji pada sidang skripsiku. “Randi, why do you take about 5 years to finished ur study?” she asked.

Aku terdiam sejenak sebelum menjawab pertanyaan itu. Pikiranku menjelajah menemukan jawabannya di antara neuron-neuron dan sinapsis. Penelitianku memang tidak berjalan mudah dan lancar. Sepulang dari Amerika akhir Mei 2010 aku langsung ngebut ngejar penelitianku. Setiap Rabu saat mahasiswa lain menemui dosennya untuk membahas data penelitian, aku datang membawa-bawa proposalku. Setelah lebih dari sebulan proposalku tidak disetujui dan makin galaulah rasa hati.

Akhirnya sebuah tawaran proyek datang, aku buat ulang proposal penelitianku. Setelah proposalku disetujui penelitianku tak kunjung mulai karena bahan penelitianku belum juga datang. Jadilah aku terbang ke Bali untuk berlaga ada PIMNAS 2010. Agustus tiba bersama bahan penelitianku. Segeralah aku kejar jadwal penelitianku hingga September : Penelitian pendahuluan selesai. Selanjutnya adalah masa tunggu untuk masuk ke Lab Polimer Pertamina, Pulogadung hingga bulan November. Penelitianku di sana berlangsung hingga akhir Desember.

Januari mengantarku kembali ke Bogor untuk menyelesaikan tahap analisis. Februari menyudahi penelitianku. Aku mulai menulis hingga bulan Maret yang disertai kepergian laptopku bersama pencuri. Awal Maret membawaku kembali ke Lab. Kali ini di Puspitek Tangerang untuk Uji Differential Scanning Calorimeter dan Scanning Electron Microscope. Awal April proses itu selesai yang dilanjutkan dengan perbaikan skripsi hingga aku akhirnya duduk di ruang sidang pada tanggal 13 Mei 2011. Namun, penelitianku ini sempat mendapatkan dua penghargaan dari Jepang yaitu Finalist Winner Tokyo Tech Indonesia Commitment Award dengan pendanaan sebesar 10000 yen dan The Best 50 Proposal in Student Innovation Award 2011, Japan. Itulah ceritanya hehehe.

hello dasboard

akhirnya malam ini bisa ketemu lagi dengan dasboard, setelah sekian lama laptop kesulitan membuka dasboard blog tercinta ini. Ada dua alasan untuk itu. Pertama karena memang internetnya lemot, kedua karena memang karena kemarin2 sibuk nyiapin sidang. jadi posting ini adalah come back setelah lama vakum.

ada yang menarik dalam sidangku kmarin. Mungkin aku menjadi mahasiswa TIN pertama yang sidang pake bahasa Inggris (iya gak sih?*ngarep.com). Awalnya dosen pembimbingku sms bahwa aku dimintanya untuk mempersiapkan diri untuk introducing diri dan jelasin abstrak dalam bahasa Inggris. kalo untuk itu mungkin semua juga udah biasalah ya. Begitu sidang dimulai dosen pembimbingku bilang, “we will run this examination in English.” Kemudian dia menanyakan kesediaan kedua dosen penguji lainnya. Do you know the answer? They answered, “ok, no problem.” jadilah sidang itu dilaksanakan full in english.

beberapa kali aku terdiam dan tak bisa menjawab karena memang pertanyaan itu sulit dan tak kutemukan jawabannya di dalam benakku. Aku juga berhenti menjawab karena kesulitan menentukan diksi yang tepat dan quite scientific. Namun, setelah 2 jam berlalu, kembalilah kami berbahasa Indonesia dan dosenku menyatakan aku lulus. Syukurlah. Lanjut ke tahap berikutnya perbaikan dan ngurus SKL

After One Year Passed

April 3rd, 2010 I began my new wonderful story in Ohio, USA. I have lived there for 8 weeks with other 19 students. We gained a lot of experience there. We met a lot of inspiring people, visited many interesting places, and did a lot of activities there. On 29 May on the same year we went back to Indonesia. After we arrived, each of us were responsible to share our knowledge and experience. Our mission is to inspire much more in Indonesian student and help them to open their mind to a brand new perspective. We realize and believe that Indonesian student can do many things that maybe they have never realized before and we have our own way to do our mission.

My way is writing and speaking. After one year passed I’ve written my experience in this blog, Media Indonesia, Koran Kampus and other media. In addition, I also come to many seminars and talk shows to speak with audience and motivate them to do better than what we’ve done. Along with those experience, I realized that this mission is not finished yet. I’m going to write a book so that my story will be everlasting and spread away easier.

I also glad that I have 5 juniors who was selected by the committee to join IELSP. They are Fik (UI), Adhil (ITB), Suci, Riska, and Rahman (IPB). Some of them are already in USA right now and some others still waiting their departure. I am very proud of them. I hope there will be much more Indonesian students who can get opportunity just like this scholarship. It is not just about going abroad but this is about an effort to put our puzzle to a huge picture of better and wealthier Indonesia. 

Nemenin Diah Ujian

Dua hari ini aku menemani Diah ke sebuah tempat yang penuh sejarah bagiku dan kuharap juga kelak baginya, SMP Negeri 49 Jakarta. Penuh sejarah karena di tempat inilah kulit kuningcerahku berubah menjadi coklat terpapar sinar matahari di lapangan, di atas pentas, di perkemahan Cibubur dan di jalan2 Jakarta.

Dua hari ini kami habiskan bersama dengan membaca buku, mengerjakan soal, mengendarai motor, mengerjakan soal ujian, dan menunggu bel pulang berdering. Perjuangan adiku masuk ke SMP ini kini jauh lebih berat dari diriku. Dahulu dengan NEM 44,95 aku sudah bisa duduk manis di kursi kelas 1-2. Namun, kini sekolah yang berlabel Rintisan Sekolah Berstandar Internasional ini mengharuskan setiap calon peserta didiknya menjalani serangkaian ujian Ujian tersebut meliputi seleksi berkas,  tes potensi akademik (matematika, IPA, Bahasa Indonesia, Pengetahuan Umum), tes lisan bahasa Inggris, dan tes komputer. Tidak berhenti sampai di situ saja, nilai UN juga akan dipertimbangkan sebesar 40%. Jadilah ujian ini menjadi banyak dan panjang. Satu hal yang aku sampaikan pada Diah, “Kau akan duduk di salah satu kursi di sekolah ini”.

Untuk 210 kursi

Tahun ini sekolah ini tidak membuka kelas reguler. Semua kelas adalah kelas RSBI. Full AC and bilingual for some subject. Pendaftar yang terverifikasi terdapat lebih dari 650 orang dengan jumlah kursi 210 saja. What a tough competition! The question is why there are so many applicants who want to get a chair in this school?

Jawabannya mungkin klise. Sekolah ini memang salah satu sekolah menengah pertama yang sejak berpuluh tahun mampu membuktikan diri sebagai sekolah unggulan di Jakarta. Tahun ini SMP 49 menjadi salah satu dari sekitar 6 SMP di Jakarta yang telah menerapkan konsep pendidikan RSBI. Terlepas dari urusan RSBI itu, aku tetap dapat katakan sekolah ini unggulan. Di sinilah aku mulai belajar mengangkat tangan untuk bertanya setelah guru menjelaskan, maju ke muka untuk menjelaskan, dan memberanikan diri untuk berpresentasi. Di luar bidang akademik, sekolah ini justru terlihat semakin menonjol. Pramuka menjadi ekstrakurikuler yang paling favorit sejak dulu karena tak sedikit siswanya yang ikut jambore nasional juga jambore dunia. Inilah ekskul yang aku ikuti dulu dan ekskul inilah yang bertanggung jawab atas perubahan warna kulitku. Pada masa itu, bumi perkemahan cibubur sudah seperti halaman belakang rumah kami. Tak terhitung sudah perkemahan yang kami ikuti. Pramuka jugalah yang membuat diriku bertemu Ibu Mega (kalau SD dulu ketemu Pak Harto dan Pak Habibie, SMA SBY donk, tapi belum pernah ketemu alm Gus Dur ). Selain Pramuka masih ada beragam ekskul lainnya yang tak kalah kerennya. Jadilah siswa 49 terdidik di alam kelas dan matang di luar kelas sehingga banyak peminatnya.

Sewaktu Diah ujian, aku menghabiskan waktuku dengan nostalgia (hehehe), ngerjain buku TOEFL, dan ngobrol dengan orang tua murid lainnya. Mereka pasti mengkira aku mengantar anak (hehehe) dan aku selalu bilang kalau aku mengantar adik (diikuti raut wajah mereka yang sedang garuk kepala tak percaya). Hasil obrolanku dengan banyak ayah dari murid2 lain membuktikan betapa setiap orang tua tidak peduli apa dan berapa biaya yang mesti dikorbankan demi pendidikan anaknya yang baik (thanks to my MOM and DAD). Sewaktu anak2nya ujian setiap ibu dan ayah yang duduk di luar ruang ujian tak henti merapal doa demi keberhasilan anaknya. Pada hari pertama saat shalat ashar banyak orang tua yang shalat di awal waktu dan berlama-lama berdoa. Keesokannya kupikir tak banyak yang akan shalat dhuha, tetapi aku salah. Beberapa orang pria dan wanita silih berganti bersujud di mushola yang tak pernah berubah hingga kini. Pak Pur dan Pak Syaiful (guruku) juga terlihat menunaikan shalat Dhuha.

Aku habiskan lebih dari 30 menit ngobrol bersama Pak Pur. Membawa lembar2 memori itu datang kembali. Masih jelas teringat di benakku ketika banjir besar Jakarta melanda. Pertigaan HEX banjir besar. Tak ada mobil yang berani melintas. Angkot dan kendaraan pribadi berbalik arah semua pagi itu, kecuali satu kendaraan : TRUK SAYUR PASAR INDUK. Jadilah aku turun dari angkot dan memanjat ke atas truk. Setelah banjir itu terlewati kami turun dekat Komseko, masuk ke kampung tengah dan menyebrang ke gang Melati. Di sanalah kami tersenyum dengan sepatu basah, baju lepek, saat memandangi papan tulis di sebelah Pak Syaiful yang bertuliskan kapur putih : SEKOLAH LIBUR.

Akhirnya bel berbunyi. Aku antar Diah pulang dengan cerita2 yang semoga mampu kelak dia ukir sendiri. Tak henti ku rapal doa, “Semoga Allah mengizinkan dirimu bersekolah di sini Adikku sayang”. Ignition ON> Starter ON> Gear 01> kereta melaju.