Membaca #1

Pada posting ini saya akan menceritakan bagaimana kedua orang tua saya mempengaruhi dan membentuk kebiasaan membaca pada anak sulungnya ini. Silakan menikmati.

Di malam ini aku tak dapat memejamkan mata
Terasa berat bagai diri terikat mimpi, oh…
Kuingin satu, satu cerita, mengantarku tidur, biar ‘ku terlelap
Mimpikan hal yang indah, lelah hati tertutupi

Ayahku adalah seorang tentara berpangkat sersan dua-jabatan terendah pada jenjang bintara- ketika aku masih berada di sekolah dasar. Ayah mempunyai kebiasaan sederhana yang berdampak luar biasa pada kebiasaan membacaku, yaitu membacakan dongeng sebelum tidur. Setiap hari ayah membaca koran di kantornya. Entah koran apa yang ia baca, tapi yang jelas setiap malam sebelum tidur ia punya cerita yang menarik untuk aku dengarkan hingga kelopak mata ini memisahkan kesadaranku dengan kamar tidurku. Terkadang ia bercerita tentang kisah Si Kancil, Roro Jonggrang, Joko Tingkir, dan berbagai kisah lainnya. Sesekali ia juga memberikan ramalan tentang kisah sinetron Si Doel Anak Sekolahan epsisode berikutnya. Namun, terkadang ia tidak datang ke kamar dengan cerita baru. Alhasil cerita-cerita lama kembali diceritakan hingga aku hafal tiap kata-kata yang meluncur dari lidahnya. Cerita-cerita itulah yang akhirnya memicuku untuk membaca kisah-kisah berikutnya di koran, novel, buku cerita dan media lainnya.

Lain lagi pengaruh ibuku pada kebiasaan membacaku. Ibu adalah seorang guru SMA yang mengajarkan Bahasa Indonesia pada murid-muridnya. Ibu mempunyai akses yang cukup banyak terhadap buku. Dari tangan beliaulah aku mulai berubah menjadi kutu buku tidak lama setelah aku bisa merangkai alfabet menjadi kata-kata yang bisa aku ucapkan. Saat aku berada di akhir kelas 1 SD aku sudah berkutat dengan sebuah buku beratus halaman yang berkisah tentang heroisme Jenderal Soedirman. Habis dengan buku itu, aku membaca sebuah buku yang membuat gairahku untuk menimba ilmu semakin membara. Buku itu berjudul Membelah Rahasia Langit. Di luar dugaan ibuku, ternyata buku ini sungguh menginspirasi anaknya. Do you know why? Sebenarnya buku ini berkisah tentang sistem tata surya dan benda langit lainnya. Buku ini membawaku ke alam entah di mana yang begitu mengasyikkan dan membuat kecanduan. Pada usiaku yang ketujuh aku sudah akrab dengan istilah gravitasi, umur matahari, asteroid, meteor, Sabuk Kuiper dll. Alhasil ibuku menjadi khawatir karena anaknya menceracau tentang hal-hal yang tak lazim dibahas anak seusianya. Buku itu akhirnya disembunyikan. Aku kecewa, sampai akhirnya aku menemukan buku itu kembali.

Lepas dari pengalaman itu, aku semakin kecanduan dengan buku. Setiap hari kusisihkan uang jajanku dan menahan haus saat tukang es tung-tung lewat di depan rumah. Setelah terkumpul sejumlah Rp 2.800,- aku pergi ke Gunung Agung untuk membeli buku kisah para Nabi. Aku punya seri lengkap dari Nabi Adam as hingga Nabi Muhammad Saw seri 2. Aku juga mulai akrab dengan makhluk yang bernama perpustakaan. Walau kecil, perpustakaan SD telah membuka mataku bahwa ada suatu tempat yang layak disebut gudang ilmu. Saat menginjak kelas 5 SD aku mengenal seorang novelis senior Inggris yang bernama Enid Blyton melalui karya-karyanya. Lima Sekawan dan Sapta Siaga adalah novel kesukaanku sejak kecil. Aku mempunyai seri Lima Sekawan yang hampir komplet di lemariku. Saat anak-anak lain membelanjakan uang lebarannya untuk membeli Video Game atau baju baru, aku meminta tanteku untuk menemaniku ke Gramedia Matraman. Hari itu aku membeli seri Lima Sekawan empat judul sekaligus. Kemudian semasa kelas 6 SD aku mulai akrab dengan komik Detektif Conan. Ceritanya yang menarik membuatku mengoleksinya hingga nomor 50an. Belakangan ini aku masih membacanya saat melawat ke Gramedia Matraman.

Sewaktu SMP, aku menemukan perpustakaan yang jauh lebih besar. Aku menjadi salah satu penunggu bangunan itu setiap hari. Hasilnya aku diberi hadiah kotak pensil oleh Ibu pustakawan karena aku telah menghabiskan lebih dari empat lembar kartu perpustakaan dan menjadi salah satu dari dua siswa yang paling sering meminjam buku. Masih teringat jelas dalam ingatanku saat banjir besar menerpa Jakarta, orang-orang sibuk melihat air menggenang dari dalam angkot sementara aku hilang masuk ke dalam kisah di dalam buku saat duduk di kursi tambahan di pintu angkot.

Bertahun-tahun setelah hari-hari itu berlalu. Aku tetap mesra dengan buku dan kebiasaan itu juga memperkenalkan aku dengan dunia tulis menulis yang telah membawaku melalang buana ke pelosok negeri dan melawat negeri Paman Sam. Demikianlah ceritaku malam ini. Berangkat dari dongeng sebelum tidur dan buku tentang Soedirman kini aku bersyurkur atas kebiasaan kedua orang tuaku sehingga aku bisa seperti saat ini hari ini.

Nemenin Diah Ujian

Dua hari ini aku menemani Diah ke sebuah tempat yang penuh sejarah bagiku dan kuharap juga kelak baginya, SMP Negeri 49 Jakarta. Penuh sejarah karena di tempat inilah kulit kuningcerahku berubah menjadi coklat terpapar sinar matahari di lapangan, di atas pentas, di perkemahan Cibubur dan di jalan2 Jakarta.

Dua hari ini kami habiskan bersama dengan membaca buku, mengerjakan soal, mengendarai motor, mengerjakan soal ujian, dan menunggu bel pulang berdering. Perjuangan adiku masuk ke SMP ini kini jauh lebih berat dari diriku. Dahulu dengan NEM 44,95 aku sudah bisa duduk manis di kursi kelas 1-2. Namun, kini sekolah yang berlabel Rintisan Sekolah Berstandar Internasional ini mengharuskan setiap calon peserta didiknya menjalani serangkaian ujian Ujian tersebut meliputi seleksi berkas,  tes potensi akademik (matematika, IPA, Bahasa Indonesia, Pengetahuan Umum), tes lisan bahasa Inggris, dan tes komputer. Tidak berhenti sampai di situ saja, nilai UN juga akan dipertimbangkan sebesar 40%. Jadilah ujian ini menjadi banyak dan panjang. Satu hal yang aku sampaikan pada Diah, “Kau akan duduk di salah satu kursi di sekolah ini”.

Untuk 210 kursi

Tahun ini sekolah ini tidak membuka kelas reguler. Semua kelas adalah kelas RSBI. Full AC and bilingual for some subject. Pendaftar yang terverifikasi terdapat lebih dari 650 orang dengan jumlah kursi 210 saja. What a tough competition! The question is why there are so many applicants who want to get a chair in this school?

Jawabannya mungkin klise. Sekolah ini memang salah satu sekolah menengah pertama yang sejak berpuluh tahun mampu membuktikan diri sebagai sekolah unggulan di Jakarta. Tahun ini SMP 49 menjadi salah satu dari sekitar 6 SMP di Jakarta yang telah menerapkan konsep pendidikan RSBI. Terlepas dari urusan RSBI itu, aku tetap dapat katakan sekolah ini unggulan. Di sinilah aku mulai belajar mengangkat tangan untuk bertanya setelah guru menjelaskan, maju ke muka untuk menjelaskan, dan memberanikan diri untuk berpresentasi. Di luar bidang akademik, sekolah ini justru terlihat semakin menonjol. Pramuka menjadi ekstrakurikuler yang paling favorit sejak dulu karena tak sedikit siswanya yang ikut jambore nasional juga jambore dunia. Inilah ekskul yang aku ikuti dulu dan ekskul inilah yang bertanggung jawab atas perubahan warna kulitku. Pada masa itu, bumi perkemahan cibubur sudah seperti halaman belakang rumah kami. Tak terhitung sudah perkemahan yang kami ikuti. Pramuka jugalah yang membuat diriku bertemu Ibu Mega (kalau SD dulu ketemu Pak Harto dan Pak Habibie, SMA SBY donk, tapi belum pernah ketemu alm Gus Dur ). Selain Pramuka masih ada beragam ekskul lainnya yang tak kalah kerennya. Jadilah siswa 49 terdidik di alam kelas dan matang di luar kelas sehingga banyak peminatnya.

Sewaktu Diah ujian, aku menghabiskan waktuku dengan nostalgia (hehehe), ngerjain buku TOEFL, dan ngobrol dengan orang tua murid lainnya. Mereka pasti mengkira aku mengantar anak (hehehe) dan aku selalu bilang kalau aku mengantar adik (diikuti raut wajah mereka yang sedang garuk kepala tak percaya). Hasil obrolanku dengan banyak ayah dari murid2 lain membuktikan betapa setiap orang tua tidak peduli apa dan berapa biaya yang mesti dikorbankan demi pendidikan anaknya yang baik (thanks to my MOM and DAD). Sewaktu anak2nya ujian setiap ibu dan ayah yang duduk di luar ruang ujian tak henti merapal doa demi keberhasilan anaknya. Pada hari pertama saat shalat ashar banyak orang tua yang shalat di awal waktu dan berlama-lama berdoa. Keesokannya kupikir tak banyak yang akan shalat dhuha, tetapi aku salah. Beberapa orang pria dan wanita silih berganti bersujud di mushola yang tak pernah berubah hingga kini. Pak Pur dan Pak Syaiful (guruku) juga terlihat menunaikan shalat Dhuha.

Aku habiskan lebih dari 30 menit ngobrol bersama Pak Pur. Membawa lembar2 memori itu datang kembali. Masih jelas teringat di benakku ketika banjir besar Jakarta melanda. Pertigaan HEX banjir besar. Tak ada mobil yang berani melintas. Angkot dan kendaraan pribadi berbalik arah semua pagi itu, kecuali satu kendaraan : TRUK SAYUR PASAR INDUK. Jadilah aku turun dari angkot dan memanjat ke atas truk. Setelah banjir itu terlewati kami turun dekat Komseko, masuk ke kampung tengah dan menyebrang ke gang Melati. Di sanalah kami tersenyum dengan sepatu basah, baju lepek, saat memandangi papan tulis di sebelah Pak Syaiful yang bertuliskan kapur putih : SEKOLAH LIBUR.

Akhirnya bel berbunyi. Aku antar Diah pulang dengan cerita2 yang semoga mampu kelak dia ukir sendiri. Tak henti ku rapal doa, “Semoga Allah mengizinkan dirimu bersekolah di sini Adikku sayang”. Ignition ON> Starter ON> Gear 01> kereta melaju.

 

freewriting#1

teringat jelas dalam benakku

langit biru tanpa awan

jaket tipis bem yang menepis dingin pagi hari

saat sejurus udara menyusup rapat pori-pori ketika pintu dorm ku buka. Randi, selamat datang di hari pertama mu berkuliah di Ohio University. Peta di tangan. rumput hijau embun di ujung-ujung.

ada gairah yang timbul untuk menekuni tiap baris buku. ada kenikmatan yang muncul saat leher pegal menyelesaikan tugas. ada mimpi yang sedang kujalani, im walking my dream

squirrel perlahan menengok lalu pergi membawa makanannya, langit masih hening tak bersuara, lalu jam raksasa itu berdentang. kita adalah orang yang muda yang jadi harapan para tua di sana.

namun kini awan telah kembali datang menutup langit di atas ku. tak ada lagi udara dingin yang menyusup 2 derajat di pagi hari. tak ada lagi squirrel yang mengendap-endap. langit pun sudah gemuruh, dan kita tetap orang muda yang diharap-harap

tinggal memori yang tersisa, tapi tiap kali aku melihatnya dalam baris-baris warna, kembali ada yang tersembul dalam dada, tetap ada rasa tak terima, bahwa kita masih belum bisa berbuat banyak yang berarti

mari aku lihat kembali sekali lagi, biar bara menyala lagi, biar mimpi itu ku lanjutkan kembali, ada semangat yang tersembul, ayo Randi, ada tapak dan jejak berikutnya yang menunggu. ada wajah2 yang perlu senyum orang muda.

mari kita lihat ke langit dan singkirkan awan dengan tangan di atas keyboard bukan dahi bersandal bantal. karena hari-hari esok adalah untuk orang muda

Bukan Wartawan Amplop

Bukan rahasia umum jika saat ini kegiatan gayus menggayus tidak saja terjadi pada sektor ekonomi dan hukum tetapi juga pada media massa. Bahkan hal ini sudah terjadi sejak berpuluh tahun lalu. Salah seorang orang tua kawanku pernah bicara tentang ini. Ia pernah disangka wartawan amplop saat meliput di suatu daerah. Hal itu masih menjadi sekedar menjadi omongan dan cerita bagiku hingga akhirnya aku mengalaminya sendiri.

Peristiwa ini terjadi pada saat aku berada di tingkat 2 saat masih berkuliah. Saat teman-temanku sibuk ikut kuliah semester pendek aku menyibukkan diri menjadi reporter sebuah majalah pertanian berskala nasional. Saat itu usiaku masih 20 tahun. Aku bisa bekerja di sana berkat rekomendasi seniorku di Koran Kampus yang merekomendasikan 3 orang di antara pengurus lainnya. Dua orang reporter dan satu fotografer.

Selama dua bulan kami ditugaskan untuk mengisi berbagai liputan di majalah itu, mulai dari kuliner, berita pasar, produk baru, hingga ke liputan utama. Kami berkeliling Bogor-Jakarta. Pasar Induk Cipinang dan Kramat Jati, Balai Kehutanan, Faperta IPB, hingga menjumpai tokoh pertanian dan LSM yang peduli akan produksi dalam negeri. Sepanjang liputan kami tidak pernah ada masalah hingga akhirnya kami masuk pada liputan utama yang kala itu mengangkat tema kampanye penggunaan produk dalam negeri.

Terdapat dua narasumber utama yang kami hubungi untuk membuat tulisan itu. Kami berangkat ke Jakarta, tepatnya Menara Bidakara. Di sana kami menemui salah satu tokoh pengayom petani. Kira-kira satu jam sebelum wawancara dimulai kami sudah berada di sana. Aku dan partnerku, Palestina Santana naik ke lantai tempat kantor narasumber itu berada. Sesampainya di lantai tersebut Pales mengonfirmasi keberadaan narasumber. Nampaknya dia begitu sibuk sehingga kami perlu menunggu lebih lama. Sembari kami menunggu orang-orang  di ruang tunggu banyak berbicara satu sama lain. Terkadang sekuriti masuk dan berbicara dengan resepsionis. Salah satu potongan percakapan mereka yang kuingat adalah sekuriti memberi tahu bahwa beberapa mobil keluar kantor dan mereka menyebut nama sebuah partai baru yang saat itu santer beriklan di TV. Hal itu menimbulkan tanya pada diriku. Aku datang ke pengurus pengayom petani atau ke kantor partai politik.

Tak lama kemudian kami dipersilakan masuk ke dalam ruangan narasumber. Kami mulai keluarkan rekorder dan daftar pertanyaan yang sudah kami buat. Percakapan begitu hangat dan seru. Narasumber mulai membahas reforma agraria, mengkritik pemerintahan dan menyinggung buku yang baru saja ditulisnya. Dia juga sempat menyindir beberapa tokoh yang menurutnya berbuat salah. Percakapan itu cukup membuat kita bersemangat sebagai mahasiswa. Setelah lebih dari satu jam kami berbincang, narasumber itu memberikan kepada kami masing-masing satu buah buku yang baru ditulisnya. Kami pun mohon diri. Sebelum kami sampai ke depan pintu, orang itu memanggil kami dan membuka dompetnya. Terlihat jelas olehku beberapa lembar berwarna merah di dompetnya. Ia mengambilnya beberapa dan memberikan kepadaku. “Ini mas buat ongkos.” ucapnya. Tak kusangka peristiwa itu pun terjadi padaku. Dengan sopan aku menjawab, “tidak usah Pak. Kami sudah mendapat uang transport dari kantor”. Ia berusaha meyakinkan kami untuk mengambil uang tersebut, tetapi kami satu kata: Tidak. Akhirnya kami keluar dari ruangan itu dengan pengalaman baru. Just to say : NO.

Sepulang dari lokasi tersebut kami melanjutkan perjalanan ke  lokasi berikutnya. Hari sudah siang saat itu. Kami menuju daerah Cililitan untuk mewawancarai sebuah LSM yang peduli akan produk dalam negeri. Kami masuk ke sebuag gedung yang serupa seperti sekolah atau universitas swasta. Mereka menjamu kami dalam sebuah ruang sekretariat yang pada salah satu sisinya dipasangi spanduk besar LSM tersebut. Mereka banyak berbicara ini dan itu dan begitu idealis. Menurut mereka diperlukan gerakan masyarakat untuk terus menggunakan produksi dalam negeri. Hal ini akan menimbulkan tarikan pasar yang dapat mendorong industri di tanah air. Ruang itu menjadi semakin hangat ketika beberapa orang pengurus lainnya memasuki ruangan tersebut. Mereka masing-masing mengutarakan pendapatnya.

Menjelang sore hari kami undur diri. Setelah berfoto bersama kami keluar dari ruangan itu. Seorang, di antara mereka mengantar kami hingga depan pintu gedung. Dia menyalami kami satu per satu. Tak kusangka saat ia hendak menyalamiku ia mengambil sebuah amplop dari saku kemejanya dan menjabat tanganku beserta amplop tersebut. Dia melepasnya. Jadilah amplop itu berpindah ke tanganku. Aku menolaknya. Ke kembalikan amplop itu padanya tetapi ia juga menolak untuk menerimanya kembali. Dia kemudian berniat menambah sejumlah uang dari dompetnya, mungkin dia berpikir bahwa kami menolak karena amplopnya kurang tebal. Aku yakinkan padanya bahwa kami menolak bukan karena itu, tapi karena kami tidak mau melanggar kode etik. Dia tetap menolak. Akhirnya ku ambil amplop itu lalu keberanikan diri untuk memasukkan amplop tersebut kembali ke saku kemejanya. Jadilah ia diam tak berkutik.  Lalu kami bergegas pergi.

Sambil mencari warung makan, kami bertiga membahas pengalaman kami hari itu. Rasanya masih panas benar tangan ku menolak amplop tersebut. Kami tidak menduga bahwa LSM yang terdengar begitu idealis bisa melakukan hal yang sama dengan politisi dan pelaku birokrasi lain yang selama ini terkenal kotor. Kami akhirnya pulang dengan sebuah cerita baru yang pasti takkan kami lupakan. Menjaga idealisme adalah tantangan bukan sekedar teori atau retorika.