Melompat

Ada suatu ketika saat kita dalam keadaan melompat. Keadaan saat kita tidak bersentuhan dengan bumi, berada di udara, di atas ketinggian dan menyenangkan. Saat itu mungkin begitu sebentar tapi begitu penting juga menyenangkan. Aku sendiri beberapa kali sengaja meminta kawanku mengambil gambarku dalam keadaan melompat. Walau kadang melelahkan tapi buatku melompat itu menyenangkan.

Melompat itu melelahkan karena tentu kita butuh energi yang lebih banyak ketimbang berjalan apalagi berdiam diri. Namun, melompat juga menyenangkan karena pada saat itu kita berada di sebuah elevasi yang di atas normal. Kondisi yang membawa kita bergerak ke atas. Rasa-rasanya lompatan hampir selalu membawa senyuman.

Dalam hidup ini juga ada fase-fase yang kita namakan lompatan. Aku sendiri mengartikan lompatan dalam hidup adalah masa saat kita mengalami perubahan signifikan yang positif karena satu atau rangkaian peristiwa dalam hidup. Tiga masa yang paling tinggi lompatannya dalam hidupku mungkin berada di SMP, SMA, masa asrama PPSDMS haha (masih anak2 banget ya). Kenapa ketiga fase itu? SMP karena di sanalah aku bergelut dengan banyak aktivitas mulai dari pramuka, OSIS, akademik, paskibra dll. Rangkaian kegiatan itu membuat aku menjadi keluar dari sosok lamaku dan mulai tumbuh menjadi sosok baru yang aktif, dapat berpendapat, inisiatif dll. Bumi perkemahan Cibubur rasanya sudah menjadi halaman belakang kami hari-hari itu.

Fase kedua adalah masa-masa awal berada di SMA. Pada fase itu aku seperti menemukan kembali mengapa aku berIslam dan menemukan banyak pengenalan dengan diri sendiri melalui berbagai macam bacaan. Waktu ketika aku menemukan teman-teman yang punya komitmen yang serupa, berkenalan dengan sosok idelis dan berada dalam semangat yang amat tinggi. Fase ketiga adalah saat masa-masa awal masuk PPSMDS. Pada saat itu aku dan kawan-kawan seperti terus menerus memiliki semangat berlebih untuk melakukan segala hal. Pada saat yang sama aku menjabat sebagai presiden asrama dan Ketua BEM Fateta. Masa itu memberiku petualangan belajar yang sangat signifikan.

Ketiga fase itu membawa aku dalam proses belajar dan berlatih sehingga aku elevasi pengetahuan, pengalaman, keahlian, dan jaringanku bertambah. Aku merindukan masa-masa seperti itu karena pada akhirnya aku menjadi sosok yang lebih baik. Saat ini memang bukanlah waktu untuk menunggu kawan, kita harus mengejar tiap kesempatan datang. Kalau tidak kita yang cipatakan peluang. Perubahan terus berlangsung tiap detik dan berjalan saja tidak pernah cukup kita harus melompat!

Binatang Buatan Jansen

Semasa saya kecil dulu, ayah selalu menyempatkan diri untuk bercerita sebelum saya tidur. Ia biasa bercerita mengenai cerita rakyat atau dongeng dari negeri antah berantah dengan makhluk-makhluk yang tak pernah ada di bumi seperti buto ijo, pegasus, laba-laba raksasa dan lain-lain. Makhluk imajinasi seperti itu saat ini lebih banyak kita temui di komik atau buku cerita. Sama seperti yang mungkin Anda pikirkan, saat ini kita amatlah sulit bahkan mustahil menemukan makhluk-makhluk fantasi seperti itu apalagi untuk menciptakannya. Namun, persepsi saya itu berubah setelah saya melihat “binatang” buatan Jansen yang ia sebut sebagai Animari dalam video di bawah ini.

Animari adalah hasil riset dari seorang seniman sekaligus ilmuwan Belanda yang cerdas dan kreatif bernama Theo Jansen. Ia pernah mengeyam pendidikan di jurusan Fisika, University of Delft lalu beralih menjadi seorang pelukis profesional sebelum akhirnya memulai proyek-proyek yang menggabungkan antara seni dan teknologi. Salah satu proyek tersebut adalah pembuatan piring terbang berdiameter 4 m yang diisi dengan helium sehingga dapat terbang dan diperkirakan mendarat di Belgia setelah diluncurkan. Proyek itulah yang menginspirasi Jansen untuk membuat Animari dari tabung-tabung PVC pada 1990.

This slideshow requires JavaScript.

Animari memang tidak terlahir dari persilangan dari dua makhluk yang sudah ada, mutasi gen bertahun-tahun seperi X Men, atau secara tak sengaja dari makhluk yang terpapar sinar gamma seperti Hulk tetapi dari tabung-tabung PVC yang dirangkai sedemikian rupa sehingga melahirkan mekanisme gerak yang menyerupai makhluk hidup sesungguhnya. Pada awalnya kerangka yang dibuat oleh Jansen tidak memiliki sendi yang kuat sehingga susunan PVC itu tidak bisa berjalan bahkan berdiri sekalipun. Kemudian ia membuat model komputer untuk menentukan cara terbaik agar hewannya ini dapat bergerak. Sejatinya mekanisme gerak ini sama halnya dengan cara kerja roda yang memiliki sumbu yang tetap berada pada level yang sama. Jansen menggunakan apa yang ia sebut sebagai 11 nomor suci untuk menghitung proporsi jarak antar tabung di dalam Animari tersebut sehingga mampu berjalan seperti mekanisme gerak roda.

Animari memanfaatkan angin secara langsung atau menyimpannya sementara untuk bergerak kemudian. Sebagaimana terlihat di dalam video di atas animari dapat bergerak ketika angin yang bertiup menggerakkan baling-baling atau sayap-sayap plastik di sisi tubuhnya. Jansen juga menciptakan mekanisme penyimpanan udara di dalam rongga perut binatang itu yang terdiri dari botol-botol limun. Angin akan memompa udara di dalam botol-botol tersebut yang kemudian dapat menghasilkan tekanan udara yang tinggi dan menggerakkan seluruh tubuh animari tersebut. Coba lihat video ini

Tidak berhenti sampai di sana, Jansen juga menciptakan kecerdasan buatan sederhana yang membuat binatang-binatang tersebut dapat mengambil keputusan atas kondisi lingkungan yang dihadapinya seperti laut dan badai. Pada video di awal tulisan ini Jansen menunjukkan bagaimana Animari dapat menjauhi laut saat kakinya menyentuh air melalui pendeteksi air yang akan menghasilkan daya lawan untuk menjauhi laut saat tabung menyedot air. Pada Animaris Percipiere, Jansen memasang detektor badai pada bagian hidungnya sehingga pada saat badai datang Animari dapat menancapkan pasak ke tanah untuk membuatnya tetap bertahan di daratan.

Sungguh kreatif bukan tuan Jansen ini? Saya yakin kelak binatang-binatang buatan Jansen ini akan memberi manfaat lebih banyak bagi manusia khususnya di bidang energi dan transportasi.

Sumber:
1. http://www.ted.com/talks/lang/en/theo_jansen_creates_new_creatures.html
2. http://en.wikipedia.org/wiki/Theo_Jansen
3. http://www.strandbeest.com/theo_cv.php
4. http://www.strandbeest.com/theo_ufo.php
5. http://www.strandbeest.com/beests_storage.php
6. http://www.strandbeest.com/beests_leg.php
7. http://weburbanist.com/2008/10/11/unbelievable-kinetic-sculptures-of-theo-jansen/
8. http://weburbanist.com/2008/10/11/unbelievable-kinetic-sculptures-of-theo-jansen/9-theo-jansen-strandbeest/
9. http://weburbanist.com/2008/10/11/unbelievable-kinetic-sculptures-of-theo-jansen/7-theo-jansen-strandbeest/
10. http://weburbanist.com/2008/10/11/unbelievable-kinetic-sculptures-of-theo-jansen/6-theo-jansen-strandbeest/
11. http://weburbanist.com/2008/10/11/unbelievable-kinetic-sculptures-of-theo-jansen/5-theo-jansen-strandbeest/
12. http://www.mekanizmalar.com/theo_jansen.html
13. http://www.artificial.dk/articles/theojansen.htm
14. http://www.youtube.com/watch?feature=player_embedded&v=38iyEttxc44
15. http://www.youtube.com/watch?feature=player_embedded&v=PG2Xv2ivZZU
16. http://www.youtube.com/watch?feature=player_embedded&v=2P7t6qSCg7A

Kohabitasi Bukan Solusi

Hidup berpasangan memang menjadi fitrah manusia. Banyak riset yang telah membuktikan bahwa pernikahan sebagai wadah legal kehidupan bersama berdampak positif bagi kehidupan seseorang baik secara fisik maupun psikologis 1). Namun, untuk sebagian orang pernikahan menjadi sebuah wadah alternatif saja untuk hidup berpasangan dengan berbagai alasan tentunya. Mereka hidup berpasangan dalam satu tempat tinggal tanpa adanya ikatan pernikahan yang umum dikenal sebagai kohabitasi. Sebagian dari mereka terus menerus menjalani kehidupan bersama tanpa adanya ikatan tetapi sebagian yang lain menggunakan kohabitasi sebagai metode persiapan diri sebelum masuk ke jenjang pernikahan yang lebih serius dan penuh dengan tanggung jawab. Mereka khawatir gagal dalam membina rumah tangga dan menjadikan kohabitasi sebagai cara untuk menghindari perceraian. Pertanyaannya bagiku adalah apakah kohabitasi tersebut menjadi solusi yang benar-benar relevan?

Saya sendiri pernah menyaksikan pasangan muda yang menjalani kohabitasi. Saat itu saya masih berkuliah di Ohio University pada tahun 2010 yang lalu. Selama berkuliah di sana saya dan mahasiswa Indonesia lainnya tinggal di asrama kampus bersama dengan mahasiswa Amerika (native American). Saat itu saya tinggal sekamar dengan sebut saja Alex (20) yang berkuliah di mayor olahraga kesehatan. Kami tinggal di sebuah kamar di lantai 2 dengan luas 4 x 4 meter. Fasilitas kamar berupa dua ranjang, dua lemari pakaian, satu kulkas, satu oven microwave, penghangat ruangan, koneksi LAN dan Wifi tak juga membuatnya menghabiskan satu malam pun tinggal di kamar itu. Selama dua bulan saya tinggal di asrama kampus itu Alex tidak pernah tinggal di kamar kami tetapi selalu di kamar kekasihnya, sebut saja Megan (19).

Suatu hari saya pernah dikenalkan dengan Megan di kamarnya yang satu lantai dengan kamar kami tetapi hanya berbeda lorong saja. Saya terkejut saat mengetahui bahwa kamar Megan hanya setengah luasnya dari kamar kami. Hanya terdapat satu ranjang, satu meja, dan satu lemari. Mereka hampir sepanjang waktu menghabiskan waktunya di luar ruang kuliah di dalam kamar itu. Aku tidak membayangkan betapa sumpeknya di sana terlebih lagi dengan barang-barang di ranjang yang berantakan. Di tempat itulah Alex biasa tinggal dan kembali ke kamar kami sekedar mengambil pakaian dan beberapa buku sebelum berangkat kuliah. Demikianlah selama dua bulan aku tinggal di sana.

Ternyata hal seperti itu bukan pengalamanku saja. Beberapa mahasiswa Indonesia lain juga memiliki pengalaman yang serupa walau tidak persis sama. Agaknya kohabitasi semakin jamak di negeri Paman Sam. Hal ini adalah salah satu poin yang diungkapkan oleh artikel di website VOA (29/03/2012) yang berjudul Hidup Bersama Tak Jamin Pernikahan Langgeng. Di dalam artikel itu dikatakan bahwa kohabitasi pada tahun 1960 hanya sebesar 10% saja sedangkan saat ini tingkat kohabitasi sudah mencapai 60% di antara pasangan di Amerika sebelum mereka menikah. Walaupun tingkat kohabitasi semakin tinggi tetapi tingkat perceraian juga tidak bisa dikatakan rendah. Menurut data dari DivorceRate2011.com 2) saat ini sebesar 41% dari pernikahan pertama di Amerika mengalami perceraian. Kemudian sebesar 60% dan 71% pasangan di Amerika bercerai pada pernikahan kedua dan ketiga. Artikel yang dimuat VOA di atas juga mengungkapkan bahwa mereka yang bertunangan dan tinggal satu atap sebelum menikah, kemungkinan pernikahannya bertahan hanya 15 tahun, hal itu sama seperti pasangan yang sebelumnya tidak tinggal satu atap. Data itu menunjukkan bahwa kohabitasi yang digunakan untuk lebih mengenal pasangan sebelum menikah ternyata tidak sepenuhnya efektif mencegah perceraian.

Tingkat kohabitasi di Indonesia mungkin tidak setinggi dibandingkan di Amerika Serikat dan hal tersebut masih dianggap masyarakat sebagai suatu hal yang melanggar norma-norma. Sejauh ini saya belum menemukan seberapa besar tingkat kohabitasi di negera ini. Namun, kita perlu mencermati fenomena hamil di luar nikah yang semakin merebak khususnya di kalangan selebritis Indonesia. Dalam satu tahun mungkin ada sekitar 2-3 selebritis perempuan yang diberitakan hamil sebelum menikah. Sebagian dari mereka justru tidak menikah sampai melahirkan anaknya. Di sisi lain, saat ini juga semakin merebak perceraian di kalangan selebritis. Walau mereka yang bercerai belum tentu yang pernah berkohabitasi sebelumnya tetapi fenomena ini perlu mendapat perhatian karena mereka adalah public figure yang dapat menjadi role model yang buruk bagi masyarakat dan boleh jadi mewakili kondisi masyarakat Indonesia saat ini. Terlebih lagi dewasa ini pergaulan bebas di antara muda-mudi Indonesia semakin marak terjadi yang ditandai dengan berbagai berita mengenai aborsi, video porno, penyimpangan seksual dan lain-lain. Oleh karena itu, praktik pergaulan bebas seperti kohabitasi perlu ditekan dan tidak menjadi solusi akan kekhawatiran kegagalan pernikahan karena tidak mengenal pasangan.

Mengenai tingkat perceraian di Indonesia, Kementerian Agama mencatat bahwa telah terjadi kenaikan tingkat perceraian di Indonesia selama satu dekade terakhir dari sebanyak 20.000 kasus menjadi 200.000 kasus per tahun. Penyebab utama dari peningkatan tersebut adalah semakin independennya perempuan secara ekonomi. Di samping itu arus informasi yang semakin deras mengenai hak-hak perempuan di dalam pernikahan juga mendorong peningkatan tersebut 3). Jika kita kaitkan penyebab utama tersebut dengan kohabitasi sebagai obatnya maka memang tampak jelas bahwa terjadi ketidaksesuaian antara penyakit dan obatnya. Pertanyaannya kemudian adalah jika kohabitasi bukan solusi dalam kelanggengan pernikahan, lalu apa solusinya?

Sebelum menikah tentu kita harus mengenal pasangan kita dan itu tidak harus dengan kohabitasi. Berkunjung kepada keluarganya, bertanya pada teman-teman dekatnya, dan tentunya berkenalan dengan calon pasangan dapat menjadi jalan yang aman. Tidak cukup sampai di sana saja, visi dalam pernikahan juga perlu dibangun. Richard Settersten Jr, yang melakukan riset terhadap pasangan yang telah menikah lebih dari 20 tahun sebagaimana dimuat di artikel VOA di atas mengatakan bahwa komitmen kedua pasangan dalam pernikahan tersebut juga menjadi kunci kelanggengan. Hal ini mengenai mimpi dan keyakinan yang kuat mengenai masa depan pasangan tersebut. Kecukupan secara finansial merupakan hal yang perlu dipersiapkan untuk menunjang kehidupan dan membawa kepada kemandirian. Pada akhirnya kedekatan kita dengan Tuhan secara spiritual juga memegang andil dalam pernikahan karena di dalamnya tidak semata mengenai aktivitas biologis melainkan juga spiritual dan pembangunan aspek nilai dan moral.

Sumber:
1) 6 Manfaat Kesehatan yang Didapat dengan Menikah. http://wolipop.detik.com/read/2011/11/14/173526/1767207/1135/6-manfaat-kesehatan-yang-didapat-dengan-menikah
2) Hidup Bersama Tak Jamin Pernikahan Langgeng. http://www.voaindonesia.com/content/hidup_bersama_tak_jamin_pernikahan_langgeng/110775.html
3) Indonesian divorce rate surges http://news.bbc.co.uk/2/hi/asia-pacific/7869813.stm
4) Gambar 1 http://divorceattorneys.wordpress.com/tag/cohabitation-agreements/
5) Gambar 2 http://womenonthefence.com/2012/04/04/tips-for-co-parenting-after-divorce/

Son Goku (孫 悟空)

Teman-teman tentu sudah mengenal sosok yang satu ini. Son Goku adalah tokoh utama dalam serial Dragon Ball. Sebagai seorang ksatria petarung dia memiliki keunikan karena selalu memiliki antusiasme dalam bertarung terutama saat dia berhadapan dengan lawan yang lebih tanggukh darinya. Selain itu, ia akan menjadi jauh lebih kuat saat hampir saja kalah dan mati. Keunikan tersebut didapatkannya secara natural karena ia berdarah suku saiya.

Lebih dari sekedar karena berdarah saiya, saya percaya bahwa sesungguhnya peningkatan kekuatan tersebut terjadi karena ada proses belajar yang ia alami. Proses belajar itu membuat Goku dapat memahami lawan lebih baik dan meningkatkan teknik-tekniknya secara perlahan. Dalam proses belajarnya tersebut tidak jarang ia mengalami masa-masa yang sulit dan pahit tetapi ia terus belajar dan berjuang dengan penuh antusiasme. Antusiasme inilah yang memberinya semangat yang lebih dan kekuatan untuk bertahan walau itu berada pada masa yang amat sulit. Setelah proses itu selesai ia terlahir kembali menjadi petarung yang jauh lebih hebat.

Seperti halnya dengan Goku, kita sebagai manusia juga memiliki kemampuan belajar yang dapat membuat kita menjadi pribadi yang lebih baik. Kemampuan belajar inilah yang juga membuat kita dapat bertahan serta tumbuh berkembang hingga hari ini. Hanya saja setiap orang memiliki kemampuan belajar yang berbeda satu sama lain. Ada yang sejak awal dianugerahi bakat yang lebih baik dari yang lain sehingga dapat lebih baik menghapal, menghitung, menulis dan lain-lain. Pada aspek ini kita tidak dapat berdiskusi lebih jauh karena hal ini bersifat given dari Tuhan. Adapun hal yang lebih baik kita diskusikan adalah ketahanan dan semangat kita dalam belajar. Ada sebagian orang yang dapat dengan mudah menyerah saat menemukan kesulitan. Sebagian yang lain justru sulit menerima masukan dan perubahan; enggan mempelajari hal-hal yang baru. Hal-hal seperti inilah yang membuat kita terbatasi dan sulit berkembang.

Di sisi lain ada pula orang yang membuka diri akan hal-hal baru. Rela menyediakan waktu untuk belajar dari awal dan bertahan dalam kesulitan. Mereka juga antusias dalam belajar bahkan tidak hanya dari balik meja tetapi juga turun ke lapangan untuk merasakan pengalaman secara langsung. Demikianlah yang dilakukan oleh Goku. Ia begitu antusias dalam belajar. Dalam beberapa episode diperlihatkan bagaimana Goku berguru kepada Karin, Dewa yang jadi Saudaranya Picolo, juga Dewa yang ada di alam Baka. Semua proses tersebut dilakukan dengan sabar dan semangat. Hasilnya dia menjadi sosok yang lebih hebat setelah selesai menjalani proses belajar itu.

Perlu diingat kawan-kawan,
Setiap alternatif dapat kita pilih tetapi konsekuensi atas tiap alternatif itu tidak bisa dipilih; ia melekat pada tiap pilihan. Jika sukses menjadi pilihan kita maka pastikan diri siap menghadapi terik tantangan dan bertahan pada tiap proses pembelajaran.

Salam sukses!!!

4 means death


The idea of this post acctually came up to my mind when I was in the elevator to my office. When I looked to the panel there’s something missing on it. The panel has several buttons that represents each floor. B for basement, 1 for 1st floor, 2 for 2nd floor, so on up till 25th floor. There isn’t any number 4 on the panel but actually the building has the “4th floor”. Instead of using 4 to represent 4th floor the owner of the building using 3A. Do you know why?

In chinese number system, 4 is pronounced as si which is the same pronoun like death (si). This is the reason why many buildings in Asia do not have 4th floor. Most of the owner of the building believe that using 4 to represent 4th floor can bring unclucky things to their building.

But there’s something that made me amaze about this phenomena. Although it lies in USA, Ohio University doesn’t have number four on it’s campus map. I guess that the campus management believe to the same myth.

So what do you think as the young Moslem about this phenomena?

Mengukur Kesalehan Melalui Latah

Posting ini sebenarya sudah lama terpikir di kepala, tapi baru kali ini saya sempat tuliskan. Pembaca sekalian pasti tahu dan tidak asing dengan istilah latah. Pada beberapa orang latah ini begitu akut dan sebagian terkesan dibuat-buat. Pada sebagian yang lain tidak tampak tapi dapat muncul suatu waktu. Namun, pada dasarnya keduanya adalah respon yang spontan. Menurut wikipedia latah adalah suatu keadaan fisik di mana penderita secara spontanitas mengeluarkan respon (berupa ucapan kata-kata atau kalimat dan sering disertai gerakan tubuh) terhadap suara atau gerakan yang sifatnya mengagetkan penderita. Nah, karena ini merupakan respon yang sifatnya spontan maka apa yang keluar dari mulut berupa kata atau kalimat itu merupakan sutu hal yang sifatnya sudah mendarahdaging (embodied) dengan diri orang tersebut. Apa yang keluar itu sudah tertanam dalam alam bawah sadar sehingga otomatis keluar begitu saja dari lisan.

Berangkat dari hal tersebut maka kita dapat mengukur kesalehan seseorang lewat kata-kata yang diucapkan saat latah. Jika apa yang dikatakan tersebut bukanlah hal yang baik boleh jadi sesuatu yang mendarahdaging atau yang tertanam di alam bawah sadar orang tersebut bukanlah hal yang baik. Sebaliknya jika yang terucap adalah hal yang baik misalnya istigfar, tahmid, takbir atau ucapan baik lainnya kita boleh berasumsi bahwa apa yang masuk dalam alam bawah sadarnya adalah sesuatu yang baik.

Apakah Anda setuju? 🙂

Commitment (2)


Tulisan ini adalah lanjutan atau boleh disebut sebagai bagian kedua dari tulisan sebelumnya yang berjudul Commitment. Namun, tulisan ini akan lebih lanjut membahas bagian akhirnya; soal kontemporer

Sebagai awalan saya ingin membahas komitmen dari kajian linguistik. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, komitmen berarti (1) perjanjian (keterikatan) untuk melakukan sesuatu; kontrak (2) tanggung jawab. Jika kita menilik oxford dictionary commitment means (1) the state or quality of being dedicated to a cause, activity, (2)an engagement or obligation that restricts freedom of action.

Kajian lebih lanjut mengenai makna dari kedua kamus itu akan saya bahas kemudian. Namun, yang akan saya tekankan adalah atas dasar apa komitmen itu dibangun. Dasar dari komitmen itu amat penting dan fundamental karena dari sanalah sejatinya energi itu akan hadir untuk menjalankan, meneruskan, membangun dan menuntaskan hal yang menjadi komitmen tersebut.

Masih ingatkah kau apa yang dikatakan Rasulullah saat ditawari menjadi raja, diberi kekayaan terbesar dan hendak dinikahkan dengan perempuan tercantik di antara suku Quraisy. Dengan mantap Nabi menjawab,”Meskipun mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan ditangan kiriku, agar aku meninggalkan seruanku. Sungguh, sampai mati pun tidak akan kutinggalkan !”

Kau tahu mengapa Rasul bisa menjawab demikian? Yang saya yakini adalah Allah yang menjadi dasar atas komitmen Rasul pada jalan dakwah ini. Sejatinya memang hanya Allah sajalah komitmen itu layaknya dibangun karena terus akan melahirkan energi-energi baru untuk bertahan dan bergerak ke depan.

*bagian sok tahu
Demikianlah juga dengan pernikahan. Komitmen untuk mengarungi hidup bersama sejatinya didasari akan niat untuk beribadah kepada Allah. Niat itulah yang akan mengingatkan, memberi pupuk harapan, mengisi energi untuk terus bergerak bersama dalam jalinan pernikahan. Saat perbedaan hadir, perselisihan muncul, badai menghampiri, dan kekecewaan menyeruak; ingatlah bahwa ini adalah jalan ibadah kepada Allah. Jalinan ini adalah sejadah panjang kita untuk meraih ridha-Nya.

*bahasan lingustik – sok tahu lagi
Komitmen juga bermakna tanggung jawab. Tanggung jawab untuk menjaga, menafkahi, menumbuhkan, merawat dan mencintai. Sehingga padanya kita terikat, padanya kita menjadikan setengah agama dalam ibadah kepada Tuhan. Sehingga kita menjaga diri dan kehormatan dari hal-hal yang tidak baik. Hingga kita menghadap Tuhan dan berharap ridha-Nya agar dimasukkan ke dalam surga.

Ya Rabb, jadikan hamba dekat dengan Mu. Bahkan untuk dekat dengan Mu hamba butuh pertolongan Mu. Wallahu alam

Bab Pengorbanan (Tadhiyah)

Akhirnya kami sampai pada bab ini. Tadhiyah. Tidak ada dakwah tanpa pengorbanan. Begitu kira-kira kami menerima muqadimah yang disampaikan. Lalu meluncurlah pemaparan-pemaparan berikutnya yang membuat kami terdiam karena masih jauh dari paparan ideal itu.

Mengenai pengorbanan ini Guru mengawali dengan sebauh janji Allah Quran QS At Taubah 111 Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Qur’an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.

Inilah sebuah perniagaan yang tidak akan merugi selamanya. Apakah yang kita cari selain surga yang abadi dan hanya bahagia yang ada di dalamnya? Surga yang kita mimpikan tersebut dapat ditebus dengan harta dan jiwa yang juga milik Allah sejatinya. Sungguh itulah kemenangan yang besar.

Tak sampai di sana saja, Allah juga memberi keterangan lain mengenai apa akibat lalai dari pengorbanan kepada Allah. Mari kita simak At Taubah 24 Katakanlah: “jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.

Mendengar ayat ini kami lantas tertunduk betapa kami memang masih jauh yang ideal itu. Teringat betapa kami perlu jujur pada diri ini bahwa ayat ini menegur kami dengan sangat dalam. Ayat ini tidak ditutup dengan sebuah ancaman melainkan keterangan untuk menunggu keputusan Allah yang maknanya justru lebih menakutkan atas kelalaian akan pengorbanan.

Aku kemudian teringat pada sebuah fragmen kehidupan Kartosoewiryo dengan istrinya Dewi Siti Kalsum. Aku tidak ingin berdebat tentang sepak terjang Kartosoewiryo dalam NII/TII. Yang ingin aku angkat adalah kisah pengorbanan mereka akan apa yang mereka yakini.

Suatu hari sebelum wafat pada tahun 1998 pada usia 85 tahun, Dewi pernah diwawancarai wartawan TEMPO mengenai kisah cintanya dengan Kartosoewiryo. Sebagai informasi, Dewi melahirkan 12 orang anak dengan 3 orang di antaranya lahir di hutan, 5 orang anaknya telah wafat; anaknya ada yang tertembak, sakit dan meninggal saat bayi. Melihat catatan ini saja aku melihat betapa istri Kartosoewiryo ini telah melakukan pengorbanan yang begitu besar. Bisakah kau bayangkan hamil dan membesarkan tiga orang anak di dalam hutan??? *mengharukan.

Saat ditanya sang wartawan mengapa ia rela bergerilya menemani suami selama 13 tahun ia bingung menjawabnya. “Karena apa ya, saya sendiri tidak tahu” kata Dewi. “Kalau dibilang karena cinta, Bapak itu sebetulnya kan orangnya jelek” lanjut Dewi.

Dalam masa gerilya itu terkadang Dewi merasa sedih saat menggendong bayinya dan memikirkan masa depan anak-anaknya kelak. Jika situasi itu datang, Kartosoewiryo menghibur Dewi dengan berkata,” Kok sedih amat sih!”. Mendengar ucapan suaminya itu sirna sudah sedih Dewi.

Dari penggalan kisah pada dua paragraf di atas, aku menangkap bahwa sesuatu yang mendasari perjuangan mereka rasa-rasanya bukan sekedar hal-hal yang sementara seperti kekuasaan atau harta semata. Pastilah itu sesuatu yang prinsip sehingga mereka mampu berkorban sejauh itu.

Sebelum di eksekusi mati di Pulau Onrust, Dewi menemui Kartosoewiryo di penjara. Suaminya itu berwasiat,”Tak akan ada perjuangan seperti ini sampai seribu tahun lagi” *meleleh.

Akan ada saat-saat dimana dilema itu akan hadir. Saat keluarga, sahabat, istri, anak, pekerjaan, amal-amal, dan dakwah saling bersinggungan. Pada saat itulah Allah menguji pengorbanan kita. Semoga Allah menguatkan ikatannya dan menjaga kita dalam Ridha-Nya. Aamiin

Selai Kacang


Beberapa pekan lalu keluarga kami diberi hadiah berupa sebuah plastik bertuliskan “cream”. Isi di dalam plastik transparan itu berwarna coklat dengan sebuah kertas di sisi luarnya yang menempel lekat. Di kertas itu tertulis “cream”, kode produksi, dan expired date. Kira-kira hanya begitu yang tertera di sana. Begitu kami menerimanya kami tentu bertanya-tanya gerangan apa yang ada di hadapan kami ini. Ingin tahu jawabnya, saya mengirim sms kepada si pemberi untuk mengetahui apa yang telah kami terima. Ternyata jawabnya sederhana; cream itu adalah selai kacang.

Mendapati bahwa ini bingkisan itu adalah selai kacang, kami menyimpannya dengan baik. Terbayang dalam benak kami bahwa kami akan menggunakannya bersama dengan roti tawar, penganan yang jarang mampir dalam menu kami. Entah rasanya apa tapi yang jelas kami menyimpannya dengan baik. Hingga akhirnya kami menyobek plastik itu akhir pekan lalu. Kami pun menyesal karena menyimpannya terlalu lama karena selai se-enak itu harusnya sudah habis beberapa pekan sebelumnya. Jadilah kami beramai-ramai menikmati roti dan selai kacang yang lezat itu.

Sama halnya dengan fenomena selai kacang itu, dalam hidup ini kita acap kali mengurungkan niat untuk mencoba hal-hal baru. Umumnya keengganan itu terjadi karena persepsi yang sudah terbentuk di kepala mengenai hal baru tersebut atau kita khawatir dengan resiko dibalik pilihan-pilihan tersebut. Padahal pada hal-hal baru tersebut tersimpan peluang yang mungkin selama ini kita cari tapi tak pernah temukan, ada keasyikan tersendiri yang kita nantikan. Namun sayangnya kita terlalu asyik di zona nyaman, sebuah area tanpa resiko.

Yang perlu kita sadari bahwa jika kita tidak puas dengan kondisi kita hari ini maka berubahlah. Bagaimana caranya berubah? Einstein bilang begini, “Hanya orang gila yang mengharapkan hasil yang berbeda dari cara yang sama”. Kabar baiknya hal-hal baru seperti selai kacang tadi menyediakan cara-cara baru yang boleh jadi membawa Anda pada PERUBAHAN; pada KESUKSESAN.

Wallahu ‘alam
PS : terima kasiih buat selai kacangnya ^^

11/11/11


Tepat pukul 00.00 12 November 2011 aku masih berada di dalam taksi. Aku baru saja menjadi panitia pemecahan rekor MURI bedah buku serentak di tempat terbanyak sehingga masih berada di jalan-jalan ibukota selarut itu. Beberapa menit yang lalu taksi yang ku naiki masih menemui kemacetan di tengah malam buta. Gerangan apa yang terjadi?

Sopir taksi menjawab tanyaku, “Hari ini khan tanggal 11/11/11, mas. Banyak yang nikah hari ini, jadinya masih macet walau udah jam segini”. “Oh jadi karena banyak yang nikah ya hari ini” gumamku dalam hati. Benar saja fenomena itu yang terjadi karena saat ku buka halaman vivanews tertulis setidaknya ada 1000 pasangan yang menikah kemarin. “Gak cuma nikah mas” lanjut supir taksi. “Banyak ibu-ibu hamil yang rela bedah caesar demi ngelahirin anaknya hari ini” pungkasnya.

Ada sesuatu yang mengganggu di benakku sejurus kemudian. Mengapa sampai sebegitunya mengejar tanggal 11/11/11? Alasan apa yang membuat lebih dari 1000 pasangan sepakat menikah di hari itu? Urusan apa yang membuat ibu-ibu hamil rela caesar?

Alasan umum yang ku terima di telinga adalah tanggal 11/11/11 itu adalah hari baik, membawa keberuntungan, bisa mengubah nasib dsb? Hei man! Do you belief to this such thing? Secara pribadi aku malah ngeri karena ada masalah fundamental yang telang dilanggar. Masalah tauhid. Dengan memercayai bahwa hari itu membawa kebaikan, keberuntungan dan dapat mengubah nasib maka sesungguhnya orang-orang itu telah meletakkan suatu sifat atau kekuasaan yang seharusnya hanya pada Allah kepada sesuatu selain-Nya, dalam hal ini adalah hari.

Sudah jelas bahwa tidak sesuatu yang dapat mendatangkan kebaikan atau keburukan atas makhluknya kecuali Allah. Dengan memercayai 11/11/11 dapat memengaruhi hidup kita maka sesungguhnya kita telah durhaka dengan mengalpakan peran Allah di sana. Ingat
surat Al Ikhlas ayat 4 “dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia”. Naudzu billah

Sebagian lagi beralasan hari itu dipilih untuk memudahkan mengingat hari pernikahan atau kelahiran anak mereka. Aku bertanya lagi, “Ada ya orang yang lupa hari ia menikahi orang yang dicintainya?” Kalo lupa hari lahir anak sih kata mereka yang punya banyak anak sih bisa saja terjadi. Jangankan hari lahir anak, pengakuan mereka yang punya sepuluh anak sulit untuk menjawab pertanyaan si A itu anak nomor berapa. Mereka perlu mengurut ulang -__-”

Pada akhir tulisan ini aku tidak mau menghakimi mereka yang menikah atau melahirkan anak pada 11/11/11 atau tanggal unik lainnya. Niat itu hanya Allah yang tahu. Ini hanya sebuah perenungan dan refleksi diri. Semoga kita terhindar dari hal-hal yang meracuni tauhid kita.