Nyiapin Mudik (Murah)

Hai Bloggers! Semoga selalu sehat dan terus aktif berkarya untuk umat.

Kali ini saya mau sharing mengenai pengalaman mudik murah saya dan istri pada lebaran 1435 H yang lalu. Bayangkan kami cuma bayar 100 ribu rupiah aja buat mudik kemarin, benar begitu? Let’s check it out

Kami punya kebiasaan untuk selalu mempersiapkan anggaran mudik secara bulanan setahun sebelum mudik berlangsung. Langkah pertama yang kami lakukan adalah menentukan tujuan mudik mana yang akan kami pilih, yaitu ke Jawa Timur (Surabaya & Pacitan) atau Jawa Tengah (Semarang). Kami mengatur tujuan mana yang akan kami singgahi, semuanya, salah satu dan jalur aman yang akan kami pilih. Tahap kedua kami akan menghitung budget yang dibutuhkan untuk memenuhi rencana tersebut. Secara umum komponen biaya yang mesti disiapkan yaitu: biaya transportasi yang meliputi transportasi utama (bus, kereta, atau pesawat) dan transportasi lokal (angkot, taksi, atau ojeg) ; biaya konsumsi yaitu biaya yang kita keluarkan untuk makan dan minum selama berada di perjalanan; biaya rekreasi yaitu biaya yang kita keluarkan untuk berwisata di lokasi mudik lebaran, misal jalan2 ke kebun binatang, museum, pantai, wahana bermain termasuk ongkos makannya juga lho. Komponen biaya berikutnya yang gak kalah besar adalah ANGPAU. Kebiasaan masayarakat timur yang satu ini gaj bisa dianggap remeh, kalau satu keponakan, adik atau saudara kita kasih 50 rb aja maka udah bisa terhitung tuh kalo punya headcount sebanyak 20 aja dst. Nah biasanya kami akan sampai pada angka 5-6 juta setiap tahun. Dengan demikian secara disiplin kami menyisihkan sebesar 500 ribu untuk memenuhi anggaran itu. Nah ini yang bisa bikin THR dari kantor masih selamet di akhir ramadhan :p

Nah pada lebaran 1435 H yang lalu kami merencanakan untuk ke Surabaya saja dengan durasi mudik selama 3 hari. Sejak jauh hari kami sudah siapkan dana dan bersiap untuk memesan tiket kereta api via online. Kami pilih kereta api karena nyaman, gak terlalu mahal dan cukup cepat nyampe ke Sby. Nah seperti yang kita tahu semua situasi pemesanan tiket 3 bulan sebelum lebaran kemari chaos banget. Banyak yang antri beli di depan laptop, BB, HP masing2 untuk beli tiket. Akibatnya banyak yang kebagian tiket. Termasuk saya. Sampai masa akhir saya belum dapat tiket ke Surabaya itupun tiket yang harganya 500rb an juga udah ludes.

Rejeki yang tidak diduga akhir datang. Istri saya dapat informasi dari temannya di kantor bahwa garuda miles yang kita punya bisa ditukarkan dengan tiket pesawat. Bagi yang belum tahu, jadi kalo kita sering naik pake Garuda kita bisa daftar GFF (Garuda Frequent Flyer) itu  dulu, sekarang namanya Garuda Miles. Nah setiap perjalanan yang kita lalui akan diberi point oleh Garuda yang nantinya point itu bisa ditukarkan dengan berbagai macam merchandise dan juga salah satunya tiket pesawat. Kebetulan istri saya cukup rajin pulang pergi Shanghai – Jakarta dan belum pernah menukarkan point Garuda Miles nya. Jadilah kami ke konter Garudan di Botani Square, Bogor. Kami tukarkan 16.000 an poin untuk tiket Jakarta – Surabaya untuk dua orang. Dapatlah kami tiket untuk dua orang JKT- SBY for FREE 😀

20140730_13392120140729_192325

Nah, walau sudah dapat tiket berangkat kami belum penya tiket pulang Surabaya – Jakarta. Di tengah hiruk pikuk pemesanan tiket kereta api yang lalu saat semua orang fokus mencari tike mudik, alhamdulillah kami mendapat tiket balik dari SBY ke JKT. You know what, kami masih bisa dapat tiket ekonomi seharga 50 ribu aja per orang. Langsung kami booking trus bayar deh di Indomart. Jadilah kami hanya perlu biaya 100 rb untuk mudik kemarin. FYI, udah sejak beberapa tahun lalu kereta ekonomi itu pake AC lho, udah makin nyaman sekarang.

Itulah cerita mudik murah kami pada lebaran yang lalu. Lucunya sesampainya di Jatinegara kami naik taksi menuju Halim (rumah orang tua) dan ongkos taksinya 60 rb lebih mahal dari tiket SBY-JKL lol. Anyway,  di luar  biaya 100 rb tadi sebenarnya masih ada biaya lainnya seperti ongkos damri 40 rb per orang ke Bandara, trus biaya jalan2 di surabaya dst. Namun itulah mudik termurah yang pernah kami alami.

Salam Semangat !!!

It’s a hello for 2014 — Shanghai Story

This slideshow requires JavaScript.

It’s been months since my last post on this blog, there are too many excuses to mention but that’s the fact. Yeah it’s a hello for 2014. This is my first post in 2014 and you know what it’s already at the end of April. In this post I want to share you my happiness instead of those excuses.

My wife and I just arrived from Shanghai two weeks ago. It was a worderful days and nights in Shanghai. We went to several amazing spot, portrayed wonderful sceneries, ate unforgetable lamien. My wife has been already there for a week before I flew from Jakarta, had transfered flight in Hongkong and arrived safely in Pudong International Airport. On 12th April, I steped my foot for the first time in China. The chilling wind blew my entusiasm up and the smile did not want to go over from my face. I directly went to the subway metro line. This aim of transportation is one of the backbone of Shanghai’s transportation. It has more than 15 lines and maybe more than a hundred stations. Sometimes it is under the surface, paralel with the road, or even go uplift on above the road.

My first spot was the Shanghai Science and Technology Museum. It is a huge building that contains a lot of attraction and shows related with science and technology. The thing made me amazed was the intention of the local goverment to make many “park”. Park that I mention here it’s not park literally but also a science park. In this museum we can see and learn more than 20 parks in shanghai. Each park has different focused of development. Some of them develop material technolohy, whereas other focused on automotive. There are also parks that develop bioscience, IT, telecomunication and so on. There are also several attraction in this museum, such as robot show, animal spot, artificial rainforest and many more.

The ambience was becoming freezing each second. At 22.30 I met my wife at the Pearl Hotel, where we lived while staying in Shanghai. I was hungry and thirsty to death at that time. A glass of chocolate that I bought at lobby was enough to fulfill my stomach. After had a glass of noodle and a slice of bread we went to bed.

On the following day, we directly go to the metro line after had our breakfast and a short talks with Mr Muslich, Mrs Yani, and Mr Mira on our breakfast table. We jump out of the metro at the People Square Station. We directly explore the traffic with a map in our hands. Incidently, after searched out more than 10 minutes we found our first destination. Shanghai Madame Tussauds. We queued in a line to buy the 150 RMB entrance ticket. I was surprised that the building that we expected as the whole museum was actually a shopping centre. The museum itself “just” only one floor but believe me it’s huge 🙂 Inside the museum we met Jackie Chan, Obama, Lady Gaga, Michael Jordan,The Beckhams, Einstein, Captain America and many more. No need to ask, it was millions of portrayed hehehe

Not far from the Madame Tusaaud lies The Shanghai Museum. This museum mostly contain the heritage of China such us statue, painting, printing, furniture, chinese currency, clothing, and pottery. For my lovely wife, it was a full boring museum but for me it was like “eureka!!!”. Once again, this country is very serious to maintain their heritage and make sure the knowlegde of their culture is being transfered well to their ancestor. This museum is seriouly made me envy and keep asking when my country has similar museum like this. It’s a question for us to answer.

Satisfied with the museum, we went to shopping centre under the People’s Park. We bougt some bags at the Mr Bob’s shop. At 5 sharp we met Jemila. She picked up us by taxi to a halal restaurant. After 15 minutes we arrived at a Moslem-Chinese restaurant, named Xinjiang. The name of the restaurant is the exactly the same with a province in Northwest China that has the biggest number of Moslem citizen in the whole country. We ate lamb, shrimp, soup, yoghurt, satay, nasi kebuli and many more. While we’re eating the restaurant showed us traditional dance from Xinjiang. We were full, tired but happy.

Shanghasi Madame Tussaud

Shanghai Museum

to be continued

 

Kelas Eksekutif Garuda

GA 204Pagi itu seperti pagi lainnya : GA 204. Setiap bulan sejak setahun lalu aku rutin ke Jogja. Ya rapat tentunya. Tentunya pula kelas ekonomi Garuda Indonesia. Perjalanan itu sering mempertemukanku dengan banyak orang terkenal, Widodo C Putro, Taufik Bahaudin, Effendi Gazali, bahkan juga Ivan Gunawan 🙂 Tapi perjalanan 6 Februari lalu itu berbeda.

Taksi melipir di terminal 2 Soeta sekitar pukul 7.20 sedangkan pesawatku take off 7.55. Agak mepet memang tapi cukup menurut hitunganku. Ku perlihatkan email di hapeku kepada petugas jaga di depan. He let me in. Begitu tas dan koper keluar mesin x ray mataku langsung tertuju pada antrian GFF Silver. Ya aku pemegang kartu GFF Silver sehingga bisa antri check in di line tersendiri. Walau demikian antrian pagi cukup banyak 5 orang dengan koper yang besar-besar. Saat aku berada di antrian terdepan seorang wanita di loudspeaker berkata,”Penumpang GA 204 dipersilakan masuk melalui gate F4″ Itu pesawatku.

Akhirnya salah satu counter kosong. Aku maju ke depan petugas check in itu. Ku serahkan hape dengan layar email tiketku dan GFF Silver. Wanita itu mulai mengetik-ngetik di depan layar monitor. Lama sekali. Hingga akhirnya ia berdiri dan berkata,”Mohon ditunggu sebentar, Pak.” Ia lalu keluar counter dan masuk ke pintu di belakang pengepakan bagasi. Tak kalah lama ia di sana. Aku mulai panik karena khawatir ditingggal pesawat. Begitu wanita itu kembali aku bertanya,”Kenapa Mbak?” “Pesawatnya sudah penuh, Pak”. Jawaban itu seperti petir di siang bolong. How come? Sore sehari sebelumnya memang agen tiket kantor mengatakan bahwa untuk GA 204 aku masih waiting list, tapi beberapa waktu kemudian agen itu menelponku dan mengatakan sudah confirmed. Mungkin itu yang menjadi penyebabnya. Aku makin deg-degan saja. Wanita itu lalu mengetik-ngetik lagi. Setelahh itu ia mengembalikan hape & kartu GFF ku dan memberi sebuah tiket. “Pak karena pesawat sudah penuh, seat Bapak kami upgrade ke executive class”, ucap wanita itu. “Ok thank you” jawabku singkat. Aku lalu bergegas menuju F4 sambil mencerna kembali ucapan wanita tadi.

Sesampainya di F4, antrian masuk pesawat sudah mau habis. Tinggal beberapa orang saja. Aku segera mengantri di depanku terdapat Bapak dan Ibu yang cukup necis penampilannya. Si Bapak membawa tas ransel dan memakai jas coklat. Si Ibu dengan wedges, tas kecil dan sekitar 5 anting di telinga kirinya. Mereka masuk ke pesawat dengan perlente sementara aku dengan koper biasa, ransel adidas tipis, pantofel celana bahan, dan baju batik di bawah balutan sweater. Biasa banget. Sembari mengantri di garbarata Bapak Ibu tadi mengobrol ke sana kemari. Kemudian ku sadari tas Bapak itu terbuka. Spontan ke beritahu Bapak itu, “Tasnya terbuka, Pak”. “oh iya Mas, gak ada apa-apanya kok isinya, Mas” jawabnya. “Zaman sekarang bukan khawatir diambil barangnya Pak tapi kalau ada yang masukin ke dalam tas” balasku. “Oh iya ya Mas, terima kasih ya Mas” balasnya sambil menyalamiku dan menutup tasnya. Kami lalu berjalan kembali. Aku mendengarkan percakapan merekan dan sebentar-sebentar salah seorang dari mereka memperhatikanku. Aku cuek saja. Sesampainya di perbatasan kelas ekskutif dan ekonomi aku langsung membukan kabin atas. Kebetulan aku duduk di seat 3A. Begitu ku masukkan koper dan tasku, Bapak tadi langsung menoleh ke belakang dan menatapku dengan wajah tak percaya. Aku cuek aja.

Tak lama paramugara menawarkan koran. Aku pilih Tempo dengan berita Anas. Lalu pramugari datang membawa jus, aku pilih apel. Setelah itu dia kembali dengan handuk hangat dan mengambil gelasku. Pesawat take off. Begitu pesawat stabil kami di tawari makan, pramugari membantu memasangakan meja dan menawarkan dua jenis menu : salad buah atau cake asin. Aku pilih yang kedua di tambah segelas teh. Aku santap cake itu dan brownies kecil itu dengan cepat. Teh hangatnya juga nikmat. Begitu makan kami beres mereka langsung sigap mengemasi. Ku nikmati sisa perlanan dengan melihat ke luar jendela sambil menyandarkan kursi empuk itu ke belakang.

Begitu pesawat landing. Penumpang eksekutif dipersilakan keluar lebih dulu. Kemudian seorang penumpang di seat 1A langsung berdiri. You know who is him? Amien Rais, mantan ketua MPR 1999-2004. Dia sempat menatap ke arahku dengan tatapan yang sama dengan Bapak2 di awal cerita tadi. Pintu dibuka. Ternyata hari itu yang ke Jogja bukan hanya Pak Amien tapi juga Bu Martha Tilaar yang menyusul turun di belakang Pak Amien. Pak Amien berjalan cepat sekali. Ku susul langkahnya hingga ke dalam terminal. Ku sapa beliau dan bersalaman. Dia bertanya,”Dari Jakarta juga ya Mas? tanyanya basa basi. “Iya, Pak, Bapak pulang ke Jogja ini? balasku. “Iya khan rumah saya di sini, Mas”. “Mau apa Mas ke Jogja?” “Saya kerja Pak di SGM” Aku lalu bingung harus bicara apa lagi, tiba-tiba mulutku berkata.”kapan nulis buku lagi Pak?” “Saya sih sudah banyak baca tapi belum ditulis-tulis juga” “Iya, Pak. Kami khan yang muda-muda ini mau membaca pikiran Bapak” “Iya, iya, Mas.” Monggo Pak selamat jalan” ucapku ketika keluar pintu terminal. “Iya Mas. terima kasih Di SGM ya tadi? “Iya Pak” jawabku singkat. Pak Amien lalu pergi bersama pria yang menjemputnya.

Cerita pagi itu antara Jakarta-Joga berlangsung berbeda. Welcome to Jogjakarta 🙂

2012 Journey

Tahun 2012 tinggal menghitung hari saja akan berakhir bersama senjanya pada 31 Desember mendatang. Begitu banyak cerita yang ingin ku bagi sebanyak pengalaman baru yang kurasakan tahun ini. Di sisi lain juga ada banyak evaluasi yang harus ku lakukan agar dapat menjadi pribadi yang lebih baik dan lebih berkontribusi bagi orang-orang di sekitarku. Dari tiga target utama yang aku canangkan di awal tahun ini Alhamdulillah telah tercapai dua di antaranya, yaitu pekerjaan yang lebih baik dan menikah, sedangkan target yang tidak tercapai adalah menerbitkan buku.

Tahun ini dapat aku sebut sebagai tahun perjalanan dari kota ke kota. Coba bayangkan di awal tahun ini saya belum pernah naik Garuda Indonesia dan menjelang akhir 2012 ini aku memegang GFF Silver yang hanya berselisih 4 perjalanan pulang pergi saja dengan GFF Gold. Namun, bukan berarti perjalanan yang aku lalui melulu dengan pesawat terbang sebagian yang lain aku jalani dengan bus, kapal, dan perahu kecil hingga berhasil menjejakkan kaki ke 5 pulau di luar Jawa. Berikut ini adalah highlights perjalanan tersebut.

Purwokerto

Ini adalah kota yang paling sering aku kunjungi selain Jogjakarta tahun ini. Ya betul, ini adalah kediaman orang tua Rizka Ardhiyana, kekasihku J. Kunjuangan ku ke sana adakalanya sendirian di tengah malam hehe, ada pula yang ditemani teman seperti Aria atau Erik, juga pernah bersama keluarga inti saat kami lamaran J Aku sempat berkunjung ke Baturaden sebuah tempat wisata yang cukup dingin dan penuh dengan jalan yang mendaki . Aku dan Rizka juga menyempatkan diri berbelanja di Moro dan jalan ke Kota Satria itu.

Jogjakarta

Ya, kota ini adalah kota di luar Jakarta yang paling sering aku kunjungi. Setiap bulan setidaknya aku sekali berkunjung ke sana untuk sekedar rapat atau menemui bos ku. Di sela-sela kegiatan di Jogja aku dan teman2 suka berkumpul bersama untuk sekedar makan dan ngobrol2 ringan. Aku juga menjelajah kota itu dengan sowan ke Keraton, Malioboro, Benteng Vredeburg, Kopi Joss, Tugu Jogja, Taman Siswa, Taman Pintar, dan tempat-tempat lainnya. Kota ini memang lebih menenangkan daripada Jakarta. Penuh dengan orang kreatif yang punya semangat wirausaha. Bisnis yang berkembang di sana adalah bisnis kuliner dan perhotelan. Hal ini wajar karena Jogja adalah salah satu provinsi yang paling sering dikunjungi wisatawan.

Pekalongan

Aku menyambangi kota ini dalam rangka menemui salah satu sahabat zeitgeisterku yaitu wiharso. Begitu turun di terminal aku langsung di antar menuju markas HMI Pekalongan, gak heran karena memang dia adalah Ketua HMI Pekalongan.  Aku mampir ke rumahnya yang sederhana di salah satu desa di sisi lain kota itu. Setelah itu aku habiskan waktu selepas shalat jumat dengan berkunjung ke alun-alun, museum batik, pantai utara jawa dan mesjid raya. Akhirnya aku melanjutkan perjalanan setelah asyik mengobrol.

Nusa Kambangan

Yup, pasti hal pertama yang terpikirkan di benak Anda adalah penjara. Nusa Kambangan memang memiliki penjara kelas 1 untuk penjahat2 dari seluruh nusantara. Di pertengahan tahun ini aku sempatkan untuk berkunjung ke sana bersama temanku Erik Febriyan. Kami menaiki sepeda motor dari Purwokerto ke Cilacap di selatan. Sepanjang perjalanan aku disuguhi pemandangan alam yang menakjubkan seperti pohon pinus, kereta yang melintas di atas areal persawahan dan lain-lain. Sesampainya di pantai selatan kami berkunjung ke Benteng Pendem dan segera memilih salah satu perahu. Aku tidak ingat berapa persisnya tarif untuk pulang pergi ke Nusa Kambangan dengan perahu itu mungkin berkisar antara 20-30ribu per orang. Di pulau itu kita bisa melihat sisa-sisa benteng belanda yang begitu kokoh namun sudah tidak terpakai. Di sisi lain kita juga bisa menikmati pantai yang indah dengan pasir putihnya.

Bandung

Bukan sekali dua aku berjalan-jalan ke Bandung, tetapi bersama keluargaku ini adalah yang pertama. Tujuan kami adalah Trans Studio Bandung. Sesampainya di sana kami langsung menyerbu masuk ke berbagai wahana yang belum terlalu ramai dipadati pengunjung siang itu. Yamaha Racing Coaster jadi menu pembuka kami, menyusul kemudian adalah Giant Swing, Vertigo, Dragon Riders, Science Center dan lain-lain. Sore harinya diiringi oleh gerimis hujan kami pulang ke Jakarta setelah menyantap soto di seberang gerbang Trans Studio Bandung.

Bali

Ini adalah kali ketiga aku ke Bali. Pertama kali tahun 2009 untuk fieldtrip, lalu 2010 PIMNAS, dan sekarang 2012 kerja huhu. But it was fun! Aku bertemu rekan2 Danone Baby Nutrition dari seluruh dunia di ajang SSD Asia Pacific Meeting. Di tengah meeting tersebut kita menikmati outbond di Nusa Dua Bali. Kami touring dengan naik sepeda menuju pura dan berakhir di pantai. Di sana kami berlomba membangun rakit dan berebut bola di tengah laut. Rakit yang kami buat hanya berbekal ban karet dan bambu-bambu yang diikat dengan tali temali. Aku juga sempat bermain bola dan menghabiskan malam dengan gala dinner. Sebelum pulang aku sempatkan diri untuk kuliner di Kuta dan belanja di Joger.

Lombok

Ini adalah pengalaman pertamaku ke Lombok. Andai saja bisa bertemu Sis Zeitgeister yang asli Lombok pasti lebih menyenangkan, sayangnya dia sedang kuliah master di Belanda sehingga kami tidak sempat bertemu. Kami datang ke sana juga untuk kerja dan tamasya. Main bola air di kolam renang, sepedahan masuk-masuk kampung, makan malam yang lezat, dan kunjungan ke PAUD yang asyik sekali. Tiga hari rasanya cukup untuk kami dan aku memang melihat bahwa negeri ini sangat membutuhkan tangan-tangan pemuda seperti kita untuk berkontribusi lebih banyak.

Kepulauan Seribu

Lebih dari 20 tahun aku tinggal di Jakarta tetapi bari kali pertama aku menjelajah di kepulauan di utara Jakarta November yang lalu. Tujuan kami adalah Pulau Putri. Perjalanan di mulai dari Dermaga 9 Ancol, kami menghabiskan waktu 1.5 jam di atas kapal bersama tim LPPOM MUI. Sesampainya di sana kami habiskan waktu dengan masuk ke Tunnel Under Sea, outbond kecil-kecilan, naik perahu yang ada dinding kacanya dan lain-lain. Sore hari kami habiskan dengan berenang di kolam dan menikmati sunset dengan membaca majalah. Malam harinya kami berkumpul kembali untuk gala dinner. Bagian paling seru terjadi keesokanharinya. Aku dan Rizka menghabiskan waktu selepas sarapan dengan naik kayak menyeberang laut menuju Pulau Putri Barat. Walau terik matahari menyengat semangat kami tak surut untuk segera sampai di pulau tujuan. Pulau Putri Barat relatif lebih sepi tetapi pasir putihnya begitu indah. Perjalanan pulang pergi kedua pulau itu sekitar 2.5 jam. Yang menarik lainnya adalah pengalaman kami terkaget-kaget bertemu dengan dua biawak yang besar sekali dan ironisnya laut Jakarta yang sudah seperti pembuangan sampah akhir.

Perjalanan ke berbagai kota tersebut membuatku meyakini bahwa memang pembangunan belum merata keseluruh daerah, tapi aku melihat gairah orang-orang di sepanjang perjalanan yang menolak untuk menyerah, tidak ingin sekedar bertahan dengan kondisi yang ada dan bersemangat untuk maju.

Mari lanjut ke evaluasi tahun 2012. Aku telah pindah ke perusahaan yang baru dengan segala tantangan dan proses pembelajaran yang baru. Allah juga telah memperkenankan aku dan Rizka untuk membina rumah tangga bersama pada 8 September yang lalu dan melangsungkan resepsi tanggal 22 September. Dengan demikian dua target utama ku tercapai. Namun, aku gagal menerbitkan buku karena memang aku kurang bersungguh-sungguh mengerjakannya. Harusnya ada lebih banyak waktu yang diluangkan dan fokus pada pengerjaannya. Di sisi lain aku berhasil menerbitkan sebuah jurnal bersama kedua pembimbing penelitianku di Jurnal Teknik Kimia Indonesia. Aku juga berhasil membuat web pernikahanku sendiri. Sahabatku Luki turut membantu untuk beberapa bagian.

Di akhir 2012 ini, aku kembali rajin membaca mengenai berbagai hal untuk menjawab why we live? or what we were born to do? Mulai dari tulisan Rene, Jamil Azzaini, Phil Cooke dll. Aku juga berdiskusi dengan orang-orang terdekat dan merenung ke dalam diri. Kalau kata Rhenald Kasali, Change! even Change your DNA!

Di tahun 2013 saya berharap seluruh keluarga kami selalu diberikan kesehatan, aku dapat berkarir dengan lebih baik dan berkontribusi lebih besar untuk keluarga, perusahaan, dan lingkungan sekitar. Aku juga berharap dapat menjadi pribadi yang lebih matang, dewasa, semakin dekat dengan Allah. Jika diperkenankan kami juga ingin menimang anak pertama kami.

Olahraga Pagi di Lubang Buaya

Bagi masyarakat Jakarta Timur khususnya di wilayah Halim, Cipayung, Taman Mini dan sekitar Pondok Gede, Monumen Pancasila Sakti atau lebih akrab dikenal sebagai Lubang Buaya adalah salah satu tempat favorit untuk menghabiskan minggu pagi dengan berolah raga. Tempat ini memang sejatinya sebuah museum sejarah mengenai peristiwa G 30 S-PKI, tetapi di sana juga terdapat lapangan parkir yang begitu luas yang biasa dimanfaatkan warga sekitar untuk berolahraga.
Saat saya masih kecil masuk ke area parkir ini sepenuhnya gratis dan bebas, tetapi belakangan ini mulai diberlakukan tarif sebesar seribu rupiah per orang dan untuk tiap kendaraan. Tempat ini memang begitu asri dan sejuk karena banyak ditumbuhi pepohonan. Banyak keluarga yang menghabiskan sabtu atau minggu paginya di tempat ini dengan berlari-lari mengitari lapangan parkir, bermain badminton, atau sekedar jalan santai. Sebagian warga lainnya bergabung dengan kelompok senam aerobik yang aktif berolahraga tiap pekan. Remaja putra umumnya bermain voli atau sepak bola selain jogging bersama.

Karena tempat ini ramai sekali dikunjungi warga tiap akhir pekan, jumlah pedagang yang masuk wilayah parkir juga semakin banyak. Jumlah pedagang yang semakin banyak membuat tempat parkir ini kian semerawut. Para pengunjung yang terbiasa jogging di tempat ini seperti saya harus bersaing dengan pedagang dan para pembeli untuk menemukan ruang agar dapat berlari. Kondisi ini diperparah dengan banyaknya sepeda motor yang parkir dan berseliweran sembarangan. Walaupun sudah semerawut seperti itu tempat ini tetap saja menjadi pilihan masyarakat di tengah makin terbatasnya ruang publik untuk berolahraga.
lubang buaya

Di antara ratusan pengunjung yang datang tiap akhir pekan saya menggolongkan tujuan kehadiran mereka ke dalam dua kelompok saja yaitu mereka yang ingn berolahraga untuk menjaga kebugaran dan mereka yang ingin berdagang guna memperoleh penghasilan. Mereka yang ingin berolahraga sudah jelas seperti yang saya jelaskan di awal tulisan sedangkan mereka yang berdagang menawarkan berbagai produk dan jasa seperti bubur ayam, kacang ijo, pempek, batagor, teh manis, air putih, vcd, kereta berjalan, odong-odong dan lain-lain. Namun, di antara sekian banyak pengunjung itu terdapat satu jenis kegiatan yang dapat menghadirkan kebugaran fisik dan penghasilan di saat yang sama. Pekerjaan itu adalah tukang odong-odong  Ya, tukang odong-odong dalam sekali waktu dapat menggenjot sekitar enam kuda2an yang ditumpangi anak kecil selama kurang lebih 3-4 menit. Nah di akhir lagu yang dimainkan untuk mengiringi permainan, si tukang odong-odong ini akan menerima bayaran dari orang tua anak-anak itu. Tukang odong-odong ini memang pintar mencari peluang hehe 

Jika telah lelah berolah raga memang asyiknya sarapan sambil istirahat. Dari sekian banyak pilihan makanan untuk menu sarapan saya menyarankan bubur ayam sebagai pilihan karena menu ini yang paling lengkap nutrisinya. Namun, jangan buru-buru langsung membeli bubur ayam sembarangan. Coba perhatikan bagaimana mereka membersihkan mangkok dan alat makan lainnya. Umumnya mereka membersihkannya dengan ala kadarnya saja, menggunakan air di dalam ember tanpa menggunakan sabun. Oleh karena itu saran saya jika hendak membeli bubur ayam maka pesanlah bubur dengan menggunakan Styrofoam dan sendok plastik yang Insya Allah lebih terjamin higienis.

Pada akhirnya, bagi Anda yang tinggal di Jakarta Timur mari keluar rumah di sabtu atau minggu pagi dengan berolahraga di Lubang Buaya. Lakukan persiapan dengan baik dan kenali lingkungan Anda beraktivitas agar dapat berolahraga dengan aman dan nyaman.

Makna Jalan-Jalan

Tulisan ini dibuat di Gate F2 selagi menunggu GA 204 menuju Jogjakarta. Meeting bulanan di Jogja sudah menunggu di depan. Namun, aku tidak akan berbicara mengenai Jogja apalagi meeting bulanan. Aku ingin bercerita mengenai pentingnya jalan-jalan.

Walau bukan seorang backpacker sejati atau traveler ulung saya adalah salah seorang yang hobi jalan-jalan. Belum banyak memang cerita yang bisa dibagi mengenai ini, baru cerita seputar Bandung, Jakarta, Pekalongan, Malang, Nusa Kambangan, Purwokerto, Cilacap, dll. Walau tidak rutin saya mengusahakan agar tetap dapat jalan-jalan saat kesempatan itu datang. Pertanyaannya kemudian mengapa?

Jalan-jalan membuktikan kepadaku bahwa ada “kehidupan” di luar Jakarta. Terdengar kasar atau sadis memang, tapi itulah ilusi yang seolah jadi realita karena rutinitas Jakarta. Kita digerakkan oleh semacam roda tak terlihat untuk bergerak memutar hari, pekan, bulan, hingga tahun. Rutinitas membuat kita hidup dalam kubus kita sendiri seolah menafikan kehidupan di tempat lain, di luar Jakarta. Kehidupan di luar Jakarta membuat kita sadar bahwa hidup bukan melulu mengenai kecepatan, kepadatan, perputaran melainkan juga keharmonisan, kedamaian, kesederhanaan dll. Itulah indahnya dan keberuntungan.

Jalan-jalan itu ibarat pembersih wajah atau amplas kasar. Ia dapat menghaluskan dan membersihkan diri kita. Bahkan jalan-jalan dapat mengasah diri kita untuk mengerti bahwa kesyukuran itu harus diperjuangkan dan dibuktikan. Terlalu tua agaknya pemikiran seperti ini saat referensi kita adalah hidup hedonisme yang berhenti pada dunia. Namun, terlalu berat rasanya untuk tak merenung jika kita lihat tiap hari roda sepeda ontel bertumpuk dengan rumput yang dikayuh seorang tua ringkih. Seperti air pula jalan-jalan akan membasuh kita, memberi kesegaran.

24 tahun sudah rasanya aku menghirup udara melulu di kota ini. Aku menantikan mungkin suatu hari saat kesempatan itu datang untuk tinggal di luar Jakarta. Pada saat itu aku akan berkata,”Aku akan jalan-jalan ke ibukota”. Pada saat itulah mungkin cerita yang aku tuliskan akan berbeda.

6:58 WIB

Co-auditor Martabak

Ada dua sisi di dalam pekerjaan yang dapat membuat kita bahagia, yaitu pleasure dan meaning. Pleasure adalah hal-hal menyenangkan yang dapat kita rasakan, seperti dipijat saat pegal, dapat asuransi kesehatan, gaji yanng tinggi, bisa travelling gratis dll. Yang kedua adalah meaning yang lebih menunjukkan keberartian pekerjaan atau usaha kita untuk orang-orang dan lingkungan di sekitar kita. Sisi meaning ini dapat membawa kebahagiaan dengan timbulnya kebahagiaan atau setidaknya hadirnya manfaat untuk lingkungan sekitar.

Bicara mengenai kedua hal tersebut saya ingin berbagi pengalaman menjadi co-auditor halal bagi istri saya tadi malam. Istri saya ditugaskan untuk mendata setidaknya 50 outlet martabak di Jakarta untuk diikutsertakan pada program sertifikasi halal gratis. Syarat keikutsertaanya mudah yaitu bersedia diwawancarai mengenai bahan yang mereka gunakan. Urusan lainnya menjadi tanggungan LPPOM. Mereka yang lolos akan mendapat sertifikat halal.

Tugas saya tadi malam adalah menjadi co-auditor. Ngapain aja sih kerjaannya? hehe. Membonceng istri, ikut bantu wawancara, ikut persuasi ke pedagang martabak agar ikut serta dengan program kami dan lain-lain. Kami berputar daerah sekitar Lubang Buaya-Halim-TMII-Jl Raya Pondok Gede. Setelah sekitar 2jam muter-muter kami berhasil mendapat 9 calon peserta yang bersedia ikut program dan 3 pedagang yang menolak tawaran. Alhamdulillah 🙂


Nah selama proses wawancara dan pertemuan dengan pedagang tersebut aku merasakan meaning yang begitu dalam akan pekerjaan ini. Kami bertanya mentega apa yang digunakan? Dari mana membeli daging sapinya? Mesis, keju,vetsin brand apa yang dipakai? dsb. Kami harus berhati-hati dalam proses audit ini jangan sampai kami salah memasukkan data yang berakibat pada salahnya fatwa yang dikeluarkan. Kami pun sadar bahwa semakin banyak masyarakat yang sadar akan makanan & minuman halal. Pedagang martabak pun tidak sedikit yang setuju dan berterima kasih dengan program ini. Selama proses itu kami juga bertemu dengan pedagang yang sudah 15 tahun berdagang martabak dan penuh syukur dengan apa yang mereka miliki. Banyak juga yang tidak hapal nomer hp sendiri saat kami tanya kontak yang bisa dihubungi. Belum lagi mereka yang bilang bahwa jika tidak menemukan mereka lain hari maka mereka sedang pulang kampung untuk menemui istri dan anak, tapi pasti mereka akan kembali berjualan di lain hari.

Selepas jam sembilan malam kami kembali ke rumah. Istriku terlihat begitu letih. Kami pun beristirahat sambil ngobrol pengalaman tadi dan menduga pedagang mana yang akan paling senang mendapat logo halal nantinya. Pada momen itulah sungguh aku rasakan kebahagiaan karena meaning dari pekerjaan yang ku lakukan.

Cukup murah untuk sebatang rokok

Selalu ada hikmah saat kita berada di atas kereta.

Saat itu malam sudah mulai jauh ditinggal matahari. Di atas kereta terakhir menuju Tanah Abang aku berada. Sepi benar suasana di dalam kereta. Seorang lelaki buta dengan tongkat berjalan ditemani istri dan anaknya. Dengan musik dari dalam kotak mereka berjalan berharap koin satu dua. Rasa iba tentu membuat tiap hati tergerak, walau tidak tiap hati juga. Ada saja yang tetap merokok tanpa peduli.

Agaknya kita harus bersyukur karena masih bisa bertemu dengan kesempatan beramal. Jangan sampai rupiah kita cukup murah untuk sebatang rokok tapi terlalu mahal untuk sekedar menahan perut lapar seseorang

Aslinya mana?

Aku mencermati dua pertanyaan berbeda yang sama-sama ditanyakan di awal percakapan. Kalo di Jakarta pertanyaannya pasti begini, “lulusan mana, mas?” atau “kuliah dimana, mas?” “angkatan berapa?” dst. Namun kalo sedang bertugas di Jogja pertanyaannya pasti begini ” Aslinya mana, mas?”

Analisisku begini, kalo di Jakarta masyarakatnya udah semakin plural maka asal daerah menjadi tidak begitu signifikan untuk ditanyakan. Pertanyaan asal universitas mungkin ditanyakan untuk mengidentifikasi ada tidaknya kesamaan almamater yang seterusnya mungkin dapat menggambarkan karakter. Nah kalo di Jogja, masyarakatnya cenderung lebih guyub sehingga asal usul itu menjadi penting dan relevan menjadi bahan pembicaraan. Kalo ditanya aslinya mana aku pasti bingung. Aku klarifikasi dulu aslinya itu lahirnya dimana atau keturunan mana? Kalo lahir aku memang di Jakarta tapi darah pure Jawa Aseli.

Kedua pertanyaan itu punya tujuan yang mirip sih yaitu mencari titik yang sama untuk berlanjut ke pembicaraan berikutnya. Jika titik temu itu semakin besar maka pembicaraan kemungkinan akan semakin asyik dan berlanjut lebih panjang.

Nah, uniknya aku pernah ditanya salah seorang client perusahaan kami dengan pertanyaan Jogja tadi, “aslinya mana, mas?” aku jawab, “aslinya itu apa, Pak? Kota lahir atau keturunan?”. Mendadak mukan berubah masam dan agak gak enak mendengarku menanyaku balik. Belakangan aku baru tahu kalau wajahnya berubah seperti itu karena ia berpikir bahwa ia salah memilih pertanyaan mendengar pertanyaan ku itu. Dia berpikir bahwa aku adalah keturunan china, maklum saja mataku memang sipit. Ia khawatir aku tersinggung dengan pertanyaan mengenai asal usul itu hehe. Buatku gak masalah kok karena Bapak itu mungkin orang ke 1439 yang memiliki pemikiran yang sama.

Nah yang paling repot kalo foto kopi di Jogja, begitu udah selesai foto kopi biasanya kita tanya ke tukang foto kopi, aslinya mana mas? Trus tukang foto kopi jawab, “Solo, Mas” -__-” (maksud gw dokumen asli gw yang tadi di foto kopi) hadeuuuh LOL 🙂