Renungan Menuju Puncak Merapi

Sepeda aku tuntun saat memasuki tanjakan menjelang Kopeng, Desa Kepuharjo. Ini adalah perjalananku pertama kali menuju puncak Merapi. Sudah kurang lebih 20 menit berlalu dari Kaliurang dan aku sudah semakin dekat dengan puncak. Udara dingin pukul 6 pagi itu serasa memberi doping tersendiri seakan menolong betis menghindari asam laktat.

Sesekali lalu lalang anak-anak SD yang berpakaian pramuka menuju sekolah. Sebagian berjalan kaki, yang lain mengendarai motor. Sepanjang perjalanan itu pun aku merenungi sesuai yang mengganjal pikiranku. Pemandangan ini tak biasa. Ya aku jarang sekali melihat remaja tanggung di wilayah ini. Lebih banyak anak-anak kecil dan orang-orang dewasa yang berjalan menuju ladang atau membawa rumput. Lainnya adalah truk-truk batu dan pasir yang sambung menyambung menguras sungai batu dan pasir bekas erupsi.

Aku tak melakukan survei atau wawancara khusus. Ini kesimpulan sementara atau sekedar asumsi. Wilayah merapi adalah wilayah subur yang ideal untuk pertanian. Sebab jarangnya anak muda atau remaja tanggung di tempat ini tentunya bukanlah karena hal itu. Pasti ada sebab lain. Jawaban itu mulai muncul saat aku melewati sebuah SD yang mulai ramai. Dugaanku adalah pendidikan yang menyebabkan wilayah ini sepi dari pemuda.

Seperti banyak terjadi di berbagai wilayah di Indonesia, banyak orang muda yang pergi meninggalkan desa atau kota tempat mereka lahir dan dibesarkan menuju berbagai kota besar, ibukta provinsi, atau tentu saja Ibukota. Arus orang muda ini meninggalkan daerahnya sesungguhnya menyuplai energi baru bagi kota tujuan sekaligus memberi beban tambahan pada bumi di kota tersebut. Di sisi lain, perpindahan itu membuat daerah asal menjadi sepi, lesu, dan sepi seperti wilayah ini. Kekurangan darah dan pucat.

Menjadi ironi memang. Pendidikan yang seharusnya menyejahterakan justru membuat keterbelakangan menjadi lebih ngilu karena sepi. Namun, marilah berbaik sangka bahwa mereka yang pergi akan kembali ke kampung halamannya dan membawa perubahan. Sampai akhirnya kita kembali ke Ibukota dan menyadari bahwa penduduk asli Jakarta (Betawi) telah menepi ke pinggir Ibukota. Mereka yang sibuk di jantung Ibukota adalah mereka yang merantau, yang meninggalkan daerahnya dalam kesunyian.

Sayangnya mereka yang menempuh pendidikan di Ibukota atau kota-kota besar lainnya tidak meninggalkan kota tempat lahirnya itu. Jadilah kue ibukota yang besar itu dibagi-bagi kepada jutaan orang yang tumpah ruah di sini. Inilah agaknya masalah kependudukan di rumah Bang Pitung yang menjadi akar dari semrawutnya Jakarta. Harusnya kue besar ini dibagi ke daerah lain sehingga. Desa Kepuharjo ini tidak selengang ini dan ibukota ini sedikit saja lebih longgar. Sesaknya sudah mengusik rongga dada. Untungnya aku masih di lereng merapi. *udara segar menyusup bronkus menuju alveoli*

Mengejar Busway

Bagi anak-anak Busway Jakarta, berdesakan dan berjubel di dalam bus transjakarta bukanlah lagi hal yang asing. Berdiri 2-3 jam di ruang sempit juga menjadi hal yang makin lumrah. Namun, posting ini tidak akan membahas mengenai hal itu. Ini adalah salah satu momen perjalananku dari kantor.

Saat itu sudah menunjukkan pukul 17.30 saat saya transit dari shelter Matraman 2 menuju shelter Matraman 1. Aku berada di atas jembatan penyeberangan saat sebuah busway gandeng dari arah pulogadung menuju kampung melayu melaju di bawah jembatan penyeberangan. Spontan aku berlari menuju shelter Matraman 1. Namun, sayangnya laju busway jauh lebih cepat dari langkah kaki ku yang terus berlari mengejar. Sesampainya aku di belokan terakhir pada jembatan penyeberangan itu, busway sudah berhenti sekitar 2-4 detik di shelter itu. Sepertinya sudah mustahil aku dapat masuk ke dalam busway itu.

Namun, aku tidak menyurutkan langkah. Justru aku berlari semakin cepat. Semakin cepat aku berlari nampaknya semakin tipis kesempatanku untuk dapat naik ke dalam busway. Sampai akhirnya salah seorang petugas busway yang berada di dalam shelter melihatku yang sedang berlari penuh semangat mengejar busway itu. Ia memberi isyarat kepada petugas busway yang sedang berjaga di pintu busway untuk menungguku. Aku tersenyum sambil terus berlari. Aku sampaikan terima kasih pada petugas busway yang menolongku itu lalu segera masuk dan duduk di dalam busway.

Hampir sama dengan fenomena tersebut, kita sering mendapati peluang yang sangat tipis untuk kita menangkan saat kita bersungguh-sungguh mengejarnya. Banyak dari mereka yang mengejar peluang tersebut berhenti di tengah jalan dan tentunya menemui kegagalan. Sementara sebagian yang lain terus berjuang penuh optimisme dan berharap akan kemenangan. Yang menarik adalah saat kita terus mengejar peluang untuk gagal memang terbuka lebar tetapi tetap ada peluang untuk menang. Saat kita berhenti mengejar sejatinya kita menutup peluang kita untuk menang begitu saja. Namun, saat kita terus berjuang kita masih berpeluang untuk menang. Beruntungnya kita bukanlah orang yang tinggal dalam ruang hampa. Ada orang-orang yang hidup di sekitar kita dan menilai sejauh mana usaha kita. Boleh jadi dari merekalah peluang kita justru semakin terbuka lebar dan menjadi kunci sukses kita. Hanya saja peluang itu kemungkinan besar dapat terbuka jika kita terus berusaha pantang menyerah. Hingga pada akhirnya kesuksesan menjadi hak kita.

Begitu sampai di dalam busway, aku baru sadar bahwa busway tersebut ternyata bukan busway yang sesuai jalurnya. Itu adalah busway koridor 11 rute Kampung Melayu – Pulo Gebang yang baru saja mengisi gas di Pulo Gadung. Alhasil busway itu kosong melompong, hanya beberapa penumpang saja di dalamnya. Terlebih lagi koridor 11 adalahh koridor terbaru sehingga seluruh armada yang beroperasi masih baru dan seluruh fasilitas berfungsi optimal. Beruntungnya sore itu, terbayar sudah sprint yang aku lakukan di atas jembatan penyeberangan 🙂

8 Orang Buta

Seperti pekan-pekan sebelumnya aku menghabiskan akhir pekanku di Bogor. Bermalam di asrama PPSDMS dan berpagi hari di kota Bogor lalu beranjak ke stasiun selepas pukul 08.00 WIB. Pagi itu belum menunjukkan pukul 10.00 tapi keretaku sudah sampai di stasiun duren kalibata. Aku bergegas keluar dan mencari kopaja 57 jurusan kampung rambutan.

Sejurus kemudian aku sudah di muka pintu kopaja. Sebelum aku naik melalui pintu depan aku melihat beberapa orang lelaki perempuan yang memakai tongkat saling berpegang pundak sambil berbaris. Aku berdiri di dekat pintu sementara orang-orang tadi berdiri di belakang. Sekilas saat aku tengok ke belakang aku dapati mereka adalah tuna netra.

Sesampainya di pertigaan Hex, aku turun. Seperti biasa kopaja berhenti sekenanya di tengah jalan (benar-benar di tengah jalan). Entah kenapa sopir tidak merelakan satu menit saja untuk menepi. Aku turun melalui pintu depan saat aku dengar keributan di pintu belakang. Ternyata delapan orang buta tadi sedang berbaris kembali dan perlahan turun. Aku kembali ke kopaja dan ku genggam tangan Bapak yang berdiri paling depan. Lima orang dibelakangnya memegang pundak kawan di depannya. Kami melintas jalan menentang kendaraan yang hendak berlalu.

Begitu aku sampai di tepi jalan, ternyata masih ada dua orang buta yang belum menyebrang. Sialnya si kondektur tidak membantu mereka menyeberang. Sebuah sepeda motor melaju begitu cepat sambil membunyikan klakson. Untung saja motor itu bisa menghindari dua orang itu. Mungkin pengendara motor itu tidak sadar jika yang menyeberang itu adalah orang buta yang tidak dapat melihat kehadiran motor itu. Itu pulalah yang mungkin membuat pengendara motor itu membunyikan klakson keras-keras. Aku kembali menyeberang dan membawa mereka ke tepi.

Begitu dua orang itu bergabung dengan enam orang lainnya, salah seorang ibu di kelompok enam orang itu berbicara cerewet sekali tetapi bersyukur dua orang itu selamat. Lalu, aku tanya Bapak yang berdiri paling depan,”Mau kemana, Pak?” Dia menyebutkan alamat yang aku duga bisa ditempuh dengan naik KR. Aku tawari Bapak itu naik KR yang sudah ngetem di sisi jalan. Namun, Bapak itu menolah naik. Ia ingin naik CH saja karena akan lebih memudahkan dia ke alamat tujuan. Saat itu pula ibu-ibu penjual kaki lima mendekat dan bergabung dengan kami. Setelah menungggu beberapa saat angkot yang ditunggu tak kunjung datang lalu aku titipkan delapan orang itu kepada ibu penjual kaki lima tersebut.

Aku melanjutkan perjalanan pulang menuju rumah. Selama dalam perjalanan itu aku merenungi peristiwa yang baru saja aku alami. Aku melihat keberanian luar biasa dari 8 orang buta itu. Walau tidak pernah melihat jalan-jalan ibukota tetapi dia memiliki keberanian yang luar biasa untuk menjelajah dan bepergian dengan segala resikonya. Segala sesuatu bisa terjadi di jalan ibukota yang tak ramah terlebih lagi jika kita tidak bisa melihat. Namun, mereka tidak berdiam diri dengan kekurangannya dan bergerak maju mengambil resiko.

Aku memikirkan bahwa kita sebagai yang diberikan nikmat penglihatan seharusnya lebih dapat maju. Tidak takut mengambil resiko dan mencoba hal-hal baru yang dapat mempertajam diri. Mari maju muda! Kita adalah generasi yang dinantikan! Link

Shalat Tanpa Wudhu

Ini adalah cerita mengenai kunjunganku ke Bogor pekan lalu. Pada kesempatan itu saya menghadiri kegiatan #studipustaka di Asrama PPSDMS Bogor. Buku yang kami bedah hari itu adalah Outliers karya Malcolm Gladwell. Kami membahas mulai dari Roseto, kisah dibalik tanggal lahir pemain hoki di Kanada, tahun kelahiran Bill Joy, Steve Jobs, Bill Gates, Steve Balmer dan jagoan Silicon Valley lainnya. Kami juga membahas kisah Chris Langan yang memenangkan $250,0000 pada kuis 1 vs 100 dan kisah hidup Oppenheimer yang menjadi ketua Manhattan Project yang berujung pada hancurnya Hiroshima dan Nagasaki.

Salah satu bagian yang saya ceritakan panjang lebar adalah kaidah 10.000 jam. Poin yang saya sampaikan adalah bagaimana pemuda muslim bisa mengambil spirit dan mencontoh kerja keras apa yang dicontohkan dalam kisah-kisah dalam buku itu. Kemudian ada waktunya memang amal yang kita lakukan patut disiarkan agar bisa mendorong amal-amal lain dari orang-orang di sekitar kita. Sahabat-sahabat Rasul pun tidak jarang beramal secara dzahir. Sebut saja Abdurrahman bin Auf yang menginfakkan seluruh kontingen dagangnya yang lebih dari 700 unta, Utsman bin Affan yang membeli sumur orang Yahudi untuk minum kaum Muslimin saat kekeringan. Jangan sampai yang tersiar ke masyarakat selalu kabar-kabar buruk yang jauh dari tumbuhnya harapan.

Kami pun berdiskusi lebih lanjut hingga menjelang 22.30 dengan berbagai pertanyaan yang menanjak dan menukik. Namun, ada satu pertanyaan yang menurut saya cukup special. Peserta itu bertanya mengenai bagaimana seharusnya pemuda muslim bersikap terhadap teori-teori seperti 10.000 jam, 7 Habits, kisah2 dalam Myelin karya Rhenald Kasali dll. Saat berpikir sejenak untuk menjelaskan dengan cara terbaik. Poin saya adalah bahwa ilmu dan hikmah itu adalah milik kaum muslimin, dimanapun ilmu dan hikmah itu berada harus kita ambil. Yang menjadi soal selama ini boleh jadi kita sebagai pemuda muslim yang belum benar-benar bersungguh-sungguh untuk mengubah diri (astagfirullah, ampuni kami Ya Rabb). Padahal Allah tidak akan mengubah keadaan diri kita sebelum kita mengubah keadaan diri kita sendiri.

Lebih lanjut aku memberikan contoh lain mengenai kaidah 10.000 jam (mungkin saya kurang memberi contoh dari ilmuwan muslim sedari awal sesi pemaparan). Kira-kira beginilah yang saya sampaikan setelah sejenak mengingat-ngat.Sewaktu di Baghdad, Imam Syafi’i selalu bersama Imam Ahmad bin Hanbal. Demikian cintanya pada Imam Syafi’i, sehingga putra-putri Imam Ahmad merasa penasaran kepada bapaknya itu. Putri Imam Ahmad memintanya untuk mengundang Imam Syafii bermalam di rumah untuk mengetahui perilaku beliau dari dekat. Imam Ahmad bin Hanbal lalu menemui Imam Syafi’i dan menyampaikan undangan itu.
Ketika Imam Syafi’i telah berada di rumah Ahmad, putrinya lalu membawakan hidangan. Imam Syafi’i memakan banyak sekali makanan itu dengan sangat lahap. Ini membuat heran putri Imam Ahmad bin Hanbal.
Setelah makan malam, Imam Ahmad bin Hanbal mempersilakan Imam Syafi’i untuk beristirahat di kamar yang telah disediakan. Putri Imam Ahmad melihat Imam Syafi’i langsung merebahkan tubuhnya dan tidak bangun untuk melaksanakan shalat malam. Pada waktu subuh tiba beliau langsung berangkat ke masjid tanpa berwudhu terlebih dulu.
Sehabis shalat subuh, putri Imam Ahmad bin Hanbal langsung protes kepada ayahnya tentang perbuatan Imam Syafi’i, yang menurutnya kurang mencerminkan keilmuannya. Imam Ahmad yang menolak untuk menyalahkan Imam Syafi’i, langsung menanyakan hal itu kepada Imam Syafi’i.
Mengenai hidangan yang dimakannya dengan sangat lahap beliau berkata: “Ahmad, memang benar aku makan banyak, dan itu ada alasannya. Aku tahu hidangan itu halal dan aku tahu kau adalah orang yang pemurah. Maka aku makan sebanyak-banyaknya. Sebab makanan yang halal itu banyak berkahnya dan makanan dari orang yang pemurah adalah obat. Sedangkan malam ini adalah malam yang paling berkah bagiku.”
“Kenapa begitu, wahai guru?”
“Begitu aku meletakkan kepala di atas bantal seolah kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW digelar di hadapanku. Aku menelaah dan telah menyelesaikan 100 masalah yang bermanfaat bagi orang islam. Karena itu aku tak sempat shalat malam.”
Imam Ahmad bin Hanbal berkata pada putrinya: “inilah yang dilakukan guruku pada malam ini. Sungguh, berbaringnya beliau lebih utama dari semua yang aku kerjakan pada waktu tidak tidur.”
Imam Syafi’i melanjutkan: “Aku shalat subuh tanpa wudhu sebab aku masih suci. Aku tidak memejamkan mata sedikit pun .wudhuku masih terjaga sejak isya, sehingga aku bisa shalat subuh tanpa berwudhu lagi.”

Pertanyaan itu aku tutup dengan sebuah pertanyaan lagi,”Bagaimana gak 10.000 jam kalau Imam Syafii bisa gak tidur semalaman seperti itu untuk berpikir dan menyelesaikan permasalahan umat?”

Semoga kita bisa dengan konsisten memperbaiki diri kawan dan menjadi bukti akan majunya peradaban Indonesia kelak. Aamiin.

Menjawab pertanyaan itu

Eksistensi Cina di Ohio University

JARUM PANJANG pada arlojiku sedang bergerak mantap menatap angka 12 sedang saudaranya sudah berhenti di angka 1. Tepat 12:55 aku sampai di CTCL building untuk masuk kelas Core yang mengajarkan grammar, writing, dan reading. Jarak yang cukup jauh antara kelas ini dengan dining hall membuatku dan dua rekan Indonesiaku cukup terengah-engah ketika kami duduk mantap di kursi kami masing-masing. Sekilas ku lepaskan pandang. Tak ada yang sawo matang kecuali diriku. Semua putih dan kuning. Anna Wolf, dosen kami tersenyum ramah dengan mata lebarnya, sedangkan 10 mahasiswanya memandang kami dengan segaris mata mereka. Sejenak aku bertanya pada diriku sendiri, “Did I come to the wrong class? Because the rest of the students are Chinese.”

Hari itu adalah hari pertamaku duduk di kelas imersi untuk belajar bahasa Inggris di Ohio University. Wajah-wajah yang ada di belakang meja yang disusun berbentuk huruf U itu sempat membuatku bertanya-tanya apakah ini kelas berbahasa Cina karena selain seorang dosen dan tiga orang mahasiswa Indonesia, mahasiswa yang lain terkadang berhadap-hadap dan bercakap-cakap dengan bahasa yang tidak aku mengerti dan yang aku yakini itu adalah bahasa Mandarin. Setelah kuliah hari itu selesai dan seluruh mahasiswa Indonesia bertemu kembali di dining hall pada saat makan malam, kami baru sadar bahwa kampus ini memang memiliki jumlah mahasiswa berkebangsaan Cina yang cukup banyak. Dari 18 ribu mahasiswa aktif Ohio University sebanyak 2 ribu orang berpaspor negara tirai bambu.

Interaksi kami pun dimulai dan seperti perkenalan yang lain semua berawal dari nama. Setiap mahasiswa Cina di kelasku memiliki nama Amerika yang memudahkan orang lain melafal dan mengingat nama mereka. Nama mereka cukup beragam, mulai dari yang masih beraroma Cina hingga benar-benar American, seperti Cici, Stanley Cai, Ivy, Rain, Element, dan Jason. Mereka memilih nama mereka sendiri dengan alasannya masing-masing. Rain memilih namanya karena ia menyukai nuansa ketika hujan turun, sedangkan Element mengatakan bahwa namanya terdengar keren sehingga ia memilihnya. Stanley Cai bernama asli Song Yi Cai. Ia tidak mengubah seluruh namanya karena menurutnya orang Amerika masih cukup mudah menyebut Cai. Walaupun mereka memiliki nama Amerika, tetapi mereka tetap menggunakan nama asli mereka di dalam kartu mahasiswa dan dokumen akademik lainnya. Terlepas dari beberapa nama yang terdengar janggal, nama-nama itu berhasil membawa mereka masuk ke pergaulan mahasiswa lainnya di Amerika.

Selama kami tinggal di sana, menemukan mahasiswa-mahasiswa Cina bukanlah perkara yang sulit mengingat jumlah mereka yang cukup banyak. Bahkan sekitar 70% dari mahasiswa-mahasiswa di kelas-kelas imersi yang berisi mahasiswa internasional untuk belajar berbahasa Inggris adalah mahasiswa asal Cina. Di beberapa fakultas di Ohio University porsi jumlah mahasiswa Asia khususnya mahasiswa Cina juga cukup banyak terutama di fakultas teknik dan manajemen bisnis. Setidaknya terdapat tiga faktor yang menyebabkan banyaknya mahasiswa Cina di kampus ini, yaitu booming ekonomi Cina dewasa ini, pendidikan yang lebih baik di Amerika dan peluang mendapatkan jodoh.

Faktor utama hadirnya mahasiswa-mahasiswa Cina di kampus ini adalah booming ekonomi Cina dewasa ini. Cici, salah seorang mahasiswi di kelas kami menceritakan bahwa orang tuanyalah yang membiayai kuliahnya di sana. Ayahnya seorang manajer marketing sebuah perusahaan IT ternama di Cina dan ibunya adalah seorang pejabat di salah satu bank. Cici adalah anak tunggal. Orang tua mereka menginginkan pendidikan terbaik untuk putrinya dan mereka memilih Ohio University. Berbeda dengan Cici yang berpunya tapi sederhana, Rain, mahasiswa lainnya di kelas kami dengan terbuka menampilkan kekayaannya. Ia tak pernah sampai ke ruang kuliah tanpa mobil sport miliknya dan dengan kalung emas yang melingkar di lehernya. Orang tuanya tak kalah kaya karena bekerja di salah satu perusahaan retail terbesar di Cina.

Alasan lain mengapa mereka berkuliah di Amerika adalah kualitas pendidikan Amerika yang lebih baik daripada di negeri mereka. Salah seorag conversation partner saya bercerita bahwa ia tidak puas dengan jurusan-jurusan yang tersedia di Cina. Selain itu, ia sadar betul bahwa dengan berkuliah di Amerika tentu saja akan membuka lebih banyak peluang baginya di masa depan terutama dengan kemampuan bahasa Inggris mereka yang meningkat. Ohio University memang bukan kampus yang ternama seperti Harvard, Yale, atau Stanford tapi kampus ini memiliki beberapa jurusan yang sangat baik yaitu jurnalistik dan bisnis.

Selain itu, kampus ini memiliki sejarah yang panjang selama lebih dari 100 tahun dan merupakan salah satu kampus tertua di daerah north west. Setelah kemerdekaan diraih oleh warga Amerika, masalah tidak berakhir begitu saja. Tentara yang pulang dari peperangan tentu tidak punya uang untuk membiayai kehidupan keluarganya. Begitu juga dengan pemerintahan Washington. Pertanian menjadi solusi bagi masalah ini tetapi mereka tidak punya cukup lahan. Sehingga George Washington mengirim orang ke daerah North Western area yang secara natural didiami oleh Indian. Mereka mulai membuat koloni baru dan Ohio menjadi negara bagian pertama yang dituju. Setelah mereka punya lahan, benih, rumah maka hiduplah warga Amerika ini dengan kehidupan keluarga yang baru. Mereka hidup makmur dan memiliki anak yang menyenangkan. Namun, anak mereka mulai tumbuh dan menjadi dewasa. Kebutuhan akan pendidikan tinggi semakin besar. Oleh karena itu didirikanlah Ohio University sebagai jawaban atas masalah tersebut.

Alasan terakhir mengapa banyak mahasiswa Cina berkuliah di Amerika, baru aku ketahui setelah membahas sebuah artikel di modul reading comprehension pada kelas pagi. Artikel itu berjudul ‘Bare Branches’ yang dapat diartikan sebagai cabang yang kosong, gundul atau tak berbuah. Tulisan itu tidak bercerita mengenai tanaman tetapi lebih pada fenomena sosial yang terjadi di Cina. Bare Branches adalah sebuah istilah yang mengacu pada pemuda-pemuda di Cina yang tidak bisa menikah karena jumlah laki-laki yang lebih banyak daripada perempuan. Pada tahun 2000, perbandingan anak laki-laki dan perempuan berusia empat tahun di Cina sebesar 120:100. Hal ini membuat lelaki Cina yang kesulitan untuk mendapatkan istri yang pada akhirnya berdampak sosial bagi masyarakat Cina, yaitu kekerasan, tindak kriminal dan terbentuknya geng-geng.

Saat Alison, dosen kelas pagi kami, membuka forum diskusi anak-anak pria Cina mengakui hal tersebut. Element mengatakan bahwa ia pergi ke Amerika bukan hanya untuk pendidikan tetapi juga pernikahan. Ia ingin menikah dengan wanita Amerika dan mendapatkan lebih dari satu anak. Seperti kita ketahui bahwa pemerintah Cina menerapkan kebijakan satu anak untuk setiap keluarga. Hal ini dilakukan untuk memperlambat laju kelahiran di Cina yang penduduknya saat ini sudah lebih dari 1.3 miliar jiwa. Kenyataan yang ada di kelas kami memang demikian, semua anak Cina di sini adalah anak semata wayang. Oleh karena itu, mereka berharap dengan kehadiran mereka di Amerika dapat mempertemukan mereka dengan jodonya dan mempunyai lebih dari satu anak tanpa khwatir terkena sanksi dari pemerintah seperti yang terjadi di negara mereka.

Walau dalam kondisi yang berbeda dengan koloni-koloni Inggris yang pindah ke Amerika beratus tahun lalu, anak-anak Cina yang saat ini berkuliah di Ohio University memiliki impian yang sama, yaitu kehidupan yang lebih baik di masa depan. Jika melihat semangat belajar mereka, saya yakin mereka tak akan hanya eksis dalam hal jumlah saja. Kesuksesan bagi mereka hanya tinggal menghitung hari seiring usaha mereka yang terkenal pantang menyerah. Bagaimana dengan kita, putra-putri nusantara?

Adzan di Rumah Dubes Amerika

Adzan bisa menjadi suatu hal yang lazim saja. Pertanda selesainya dinas matahari pada suatu hari dan awal bagi rembulan menjaga malam hari di muka bumi. Adzan menjadi begitu berharga bagi mereka yang berpuasa karena dia yang memisahkan lega dan dahaga, puas dan lapar, serta menjadi awal pertemuan kita dengan malam yang khusyuk dan berwarna. Saya sendiri punya pengalaman berkaitan dengan adzan yang unik di rumah dinas Duta Besar Amerika untuk Indonesia, Pak HE Scot Marciel. Mari kita simak 🙂

Pada 22 Agustus yang lalu atau bertepatan dengan 22 Ramadhan 1432 H saya berkesempatan untuk sowan ke kediaman dinas Duta Besar Amerika. Pada kesempatan tersebut Kedutaan Besar Amerika mengundang alumni-alumni program pertukaran pemuda Indonesia-Amerika untuk berbuka puasa bersama. Sebelum pukul 17.30 beberapa undangan sudah terlihat hadir di Taman Suropati, tepat di seberang rumah dinas Pak Scot. Begitu masuk kami melakukan registrasi dan menjalani pemeriksaan barang bawaan yang umumnya juga dilakukan berbagai kantor dan hotel di Jakarta. Seluruh undangan sudah berada di ruang utama saat jam menunjukkan pukul 17.30 WIB. Memasuki ruangan tersebut kami disambut oleh beberapa staf keduataan yang berdiri tegap dan tinggi menjulang dengan balutan jas abu-abu yang rapi dan resmi. Kami disambut dengan ramah dan penuh kehangatan. Kemudian, kami mulai mengobrol ngalor-ngidul mulai dari pengalaman kami kuliah di Amerika hingga kondisi ekonomi Amerika terkini.

Saat masih asyik ngobrol sana-sini, seorang senior saya menyapa dan memperkenalkan salah seorang staf kedutaan yang langsung meminta kesediaan saya untuk menjadi muadzin. Ternyata muadzin yang seharusnya bertugas hari itu berhalangan hadir sehingga staf tersebut harus mencari volunteer yang mau menggantikannya. Tanpa ragu saya langsung menyanggupi tawaran tersebut.

Tak lama kemudian, ruangan menjadi hening saat Pak Scot Marciel memberikan sambutan singkat dalam bahasa Inggris yang intinya menyambut baik kehadiran kami sebagai alumni program pertukaran pemuda Indonesia-Amerika dan berharap kami bisa melanjutkan studi pada jenjang yang lebih tinggi di luar negeri. Kami menyimak dengan serius dan benar-benar berharap bisa melanjutkan studi sebagaimana yang diharapkan Pak Scot. Begitu sambutan selesai, Pak Scot berbaur kembali dengan hadirin yang mulai kembali berbincang satu sama lain sehingga menimbulkan suara riuh rendah.

Beberapa saat kemudian seorang anggota staf kedutaan memberi isyarat kepada Agus, adik kelasku di kampus, untuk mulai memukul bedug. Tek-tek-tek dug-dug-dug (bedug berbunyi). Ruangan menjadi senyap sejurus pukulan Agus menemui muka bedug. Pak Scot Marciel dan beberapa stafnya yang berdiri sekitar dua meter dari kami pun berhenti bercakap-cakap. Begitu Agus selesai dengan bedugnya, aku maju ke hadapan microfon, lalu mulai beradzan. Dalam hatiku agak sedikit deg-degan, takutnya nanti salah melafalkan adzan, khan malu kalau begitu jadinya. Terlebih lagi beradzan di rumahnya Pak Dubes Amerika, di tempat yang mungkin berbicara dengan bahasa Arab bukan suatu kelaziman. Namun, aku juga merasa beruntung mengumandangkan takbir dan kalimat syahadat dalam lantunan adzan di ruang tersebut.

Pada awal beradzan, degup jantung amat cepat karena perasaan grogi. Namun, semakin lama aku semakin rileks walau aku tahu betul semua mata perhatian tertuju pada adzan yang aku kumandangkan ini. Pak Scot dan staf-stafnya masih saja menyimak penuh perhatian, suasana masih khidmat. Namun, tak lama suasana berubah gaduh. Undangan yang hadir dan berdiri di belakang Pak Scot mulai menimbulkan suara berisik, entah apa. Pak Scot yang berada di dekatku juga merasa gundah dengan hal tersebut. Ia sesekali menoleh ke belakang untuk melihat keadaan lalu kembali menyimak adzan. Aku mulai deg-degan lagi sambil bertanya dalam hati, “Apa ada yang salah dengan adzan yang aku kumandangkan?” Ku ambil alih ketenangan dalam diri dan meneruskan adzan dengan lantang. Sampai pada bacaan Hayya ‘alal falah! suasana makin gaduh, malah samar-samar aku mendengar beberapa orang berbincang dengan serunya hampir seperti sebelum adzan tadi. Hal ini menimbulkan tanya dalam diri, “Apa benar gak ada yang salah dengan adzanku? Atau harusnya saya adzan pakai Bahasa Inggris (hehehe ngaco)” Aku tetap fokus meneruskan adzan hingga selesai.

Begitu selesai membaca doa selepas adzan aku baru sadar kemudian bahwa saat aku adzan, Pak Scot dan beberapa staf yang berdiri di barisan depan memang mendengarkan dengan khidmat. Aku pikir itu bagian dari upaya penghormatan mereka, dalam hal ini mendengarkan adzan tanpa menyambi ngobrol di antara sesama mereka. Namun, saat memasuki tengah-tengah adzan, undangan-undangan yang hadir dan berada di belakang Pak Scot udah gak terlalu peduli lagi dengan adzan karena perhatian mereka sudah beralih kepada ta’jil yang terhidang di meja. Jadilah mereka ‘berburu’ menikmati ta’jil itu untuk membatalkan puasa sambil mengobrol, bahkan terdengar beberapa gelas berbenturan yang membuat suasana kian meriah -__-” Menyadari hal itu aku lega, setidaknya bukan adzanku yang salah hehe. Segera berbuka puasa merupakan sunah, tetapi menghormati adzan dengan mendengarkannya juga merupakan hal yang baik. Dari peristiwa ini aku melihat jelas bagaimana penghormatan Pak Scot dan staf-stafnya terhadap adzan magrib itu. Buatku sebagai seorang muslim itu sungguh berarti.


Dua Adzan di Dua Amerika

Adzan bisa menjadi suatu hal yang lazim saja. Pertanda selesainya dinas matahari pada suatu hari dan awal bagi rembulan menjaga malam hari di muka bumi. Adzan menjadi begitu berharga bagi mereka yang berpuasa karena dia yang memisahkan lega dan dahaga, puas dan lapar, serta menjadi awal pertemuan kita dengan malam yang khusyuk dan berwarna. Saya sendiri punya dua pengalaman adzan di dua Amerika yang pertama penuh haru biru yang kedua penuh tanda tanya. Mari kita simak 🙂

Hari itu adalah masa-masa awal saya berkuliah di Amerika. Kami masih dalam masa orientasi dan menyesuaikan diri dengan lingkungan baru ini. Setelah rajin shalat di kamar sendiri saja, akhirnya saya menemukan the Islamic Center of Athens di South Green, Ohio University. Tempat itu tidak begitu besar berbentuk persegi berlantai dua. Dindingnya terbuat dari kayu bercat putih sungguh klasik dan sejuk. Ruang perseginya menawarkan hangat kebersamaan persaudaraan muslim rantau. Beberapa menit lagi akan masuk waktu ashar saat saya dan beberapa mahasiswa Indonesia lainnya merebahkan diri di ruang sholat. Tak lama kemudian jam digital di muka mimbar menunjukkan waktu ashar tiba. Seorang pria berwajah Timur Tengah berdiri lalu ia kumandangkan adzan dengan mikrofon. Suara adzan itu lembut terdengar walau hanya dalam ruangan berukuran kira-kira 10 x 10 m itu. Aku terduduk. Tak lama ada rasa berbeda yang perlahan menyelinap dalam hati. Rasa rindu akan tanah air dan adzan yang wara-wiri tiap waktu shalat tiba. Kini aku telah berada puluhan ribu mil dari bumi tanah air dari Asrama PPSDMS tempat biasanya kami bangkit dari kantuk untuk menegakkan diri dalam malam dan subuh hari. Tak ada lagi adzan di luar ruangan ini walau aku berlari ke seluruh penjuru mata angin berkilometer jauhnya. Ada keharuan melanda kalbu dan saat itu manislah terasa menjadi muslim di negeri orang. Kalimat tauhid menjadi kita kuat membuncah dalam hati, menuju tenggorokan dan berakhir di kelenjar air mata. Ya Rabb, terima kasih atas adzan yang kau beri sore hari itu. Kami pun berdiri menegakkan punggung empat kali. Kami menikmati kemerdekaan karena kami ber-Islam 😀

Setahun lebih berselang atau tepatnya tadi malam saat saya kembali ke Amerika hanya selama 2.5 jam saja. Ya, saya tadi malam sowan ke rumah dinas Duta Besar Amerika untuk memenuhi undangan buka bersama dan makan malam bersama beliau. Seluruh undangan sudah berada di lobi utama saat jam menunjukkan pukul 17.30 WIB. Saya masuk bersama beberapa alumni IELSP lainnya. Kami disambut dengan ramah dan penuh kehangatan. Memasuki lobi kami disambut oleh beberapa staf keduataan yang berdiri tegap dan tinggi menjulang dengan balutan jas abu-abu yang rapi dan resmi. Kami mulai mengobrol ngalor ngidul mulai pengalaman kami kuliah di Amerika hingga kondisi ekonomi Amerika terkini

Saat masih asyik ngobrol sana sini, seorang senior saya menyapa dan memperkenalkan salah seorang staf kedutaan yang langsung meminta kesediaan saya untuk menjadi muadzin. Dengan semangat PPSDMS (ngebayangain kayak apa) saya langsung menyanggupi tawaran tersebut. Tak lama kemudian HE Scot Marciel. Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia memberikan sambutan singkat dalam bahasa Inggris yang intinya, apa ya??? (lupa gw) Pokoknya mereka menyambut baik kehadiran kami sebagai alumni program Indonesia-Amerika dan berharap kami bisa melanjutkan studi di luar negeri bla-bla-bla. Setelah sambutan selesai seluruh hadirin kembali berbaur dan berbincang dengan hangat. Tak lama kemudian seorang anggota staf kedutaan memberi isyarat kepada Agus, adik kelasku di IPB, untuk mulai memukul bedug. Tek-tek-tek dug-dug-dug (bunyi bedug). Ruangan menjadi senyap sejurus pukulan Agus menemui muka bedug. Pak Scot Marciel dan beberapa stafnya yang berdiri sekitar 2 meter dari kami pun berhenti bercakap-cakap.

Begitu Agus selesai dengan bedugnya, aku maju ke hadapan mic, mulai menjadi muadzin. Dalam hati agak sedikit deg-degan karena pertama kali adzan beneran gak di masjid dulu sih pernah ikut lomba adzan tapi gak menang juga seih hehe. Terlebih lagi adzan ini di rumahnya Pak Dubes USA di tempat yang ngomong bahasa Arab mungkin rada sensitif. Namun, aku yang beruntung mengumandangkan takbir, kalimat syahadat dalam lantunan adzan di ruang tersebut. Semakin lama adzan aku semakin rileks walau aku tahu betul semua mata perhatian tertuju pada adzan yang aku kumandangkan ini. Pak Dubes dan staf-stafnya masih saja menyimak penuh perhatian, suasana masih khidmat. Namun tak lama suasana berubah gaduh. Orang-orang yang berdiri di belakang Pak Scot mulai menimbulkan suara berisik, entah apa. Pak Scot yang berada di dekatku juga merasa gundah dengan hal tersebut. Aku mulai deg-degan lagi sambil bertanya dalam hati, “Apa ada yang salah dari adzan yang aku kumandangkan, ya?” Ku ambil alih ketenangan dalam diri dan meneruskan adzan dengan lantang. Sampai pada bacaan Hayya ‘alal falah suasana makin gaduh, malah samar aku mendengar beberapa orang berbincang dengan serunya hampir seperti sebelum adzan tadi. Hal ini menimbulkan tanya dalam diri, “apa bener gak ada yang salah dengan adzanku? Atau harusnya adzan pake bahasa Inggris (hehehe ngaco)” Aku tetap fokus meneruskan adzan hingga selesai. Begitu selesai membaca doa selepas adzan aku baru sadar kemudian bahwa saat aku adzan Pak Scot dan beberapa staf yang berdiri di barisan depan memang mendengarkan dengan khidmat. Aku pikir itu bagian dari upaya penghormatan mereka terhadap Islam, dalam hal ini mendengarkan adzan tanpa menyambi ngobrol di antara sesama mereka. Namun, saat memasuki tengah-tengah adzan, undangan-undangan yang hadir dan berada di belakang Pak Scot udah gak terlalu peduli lagi dengan adzan karena perhatian mereka sudah beralih kepada ta’jil yang terhidang di meja. Jadilah mereka menikmati ta’jil itu sambil mengobrol, bahkan terdengar beberapa gelas berbenturan yang membuat suasana kian meriah. Menyadari hal itu aku lega, setidaknya bukan adzanku yang salah hehe 🙂 Segera berbuka merupakan sunah, tetapi dari peristiwa ini aku melihat jelas bagaimana penghormatan Pak Scot dan staf-stafnya terhadap adzan magrib itu. Buatku sebagai seorang muslim itu berarti.

The conversation between east and west has recently became a big issue. Giving respect to the differences between them, I think can be a good way to reduce conflict and take much more benefits from the east-west relationship. 🙂