Artis dan Resistensi Perubahan

Jakarta – Pentas demokrasi di Indonesia belakangan ini semakin disemarakkan dengan hadirnya beberapa artis dalam pentas politik. Kehadiran mereka bukan hanya sekedar sebagai penghibur. Tetapi, terdapat beberapa artis yang sukses mengalahkan politisi senior.

Sebut saja Rano Karno, Dede Yusuf, dan Diky Candra. Mereka menjadi role model dan memberi inspirasi bagi artis-artis lainnya yang hendak masuk ke pentas politik. Sehingga, kini semakin banyak artis yang maju dalam pentas politik.

Bukan saja sekedar memasuki ranah eksekutif artis-artis juga maju dalam pentas pemilihan anggota legislatif untuk mengisi kursi Dewan Perwakilan Rakyat. Fenomena ini jelas sebuah langkah pragmatis dari partai-partai politik untuk mendapatkan suara sebanyak-banyaknya.

Terlepas dari kapabilitas para artis tersebut dalam berpolitik namun ketenaran mereka adalah jalan pintas bagi partai politik untuk bertahan di Senayan. Sayangnya kemudian saat mereka terpilih dan duduk sebagai wakil rakyat terbukti terdapat dari mereka yang tidak kompeten dan tidak santun dalam bertindak.

Simak saja perilaku Ruhut Sitompul dalam pansus Bank Century yang lalu. Ia memaki-maki dan sering kali menyimpang dari materi sidang. Dalam kapasitasnya sebagai wakil rakyat sikapnya amat tercela dan tidak patut ditiru.

Dengan rekam jejaknya yang demikian kini semakin banyak artis yang hendak maju dalam pentas politik. Ketenaran mereka kembali digunakan partai politik untuk memenangi sejumlah pemilihan kepala daerah. Sebut saja Ayu Azhari yang sempat dikabarkan maju dalam Pilkada Sukabumi. Kemudian Cici Paramida dan Julia Perez yang ikut dalam penjaringan calon Bupati/ Wakil Bupati Pacitan. Kehadiran mereka bukan sekedar menghadirkan kontroversi. Tetapi, dapat menjadi satu indikasi bahwa partai-partai politik gagal melakukan regenerasi.

Proses kepemimpinan membutuhkan regenerasi yang baik. Karena, umur organisasi tentu lebih panjang dibandingkan dengan para pelaku organisasi tersebut. Semenjak reformasi terjadi pada tahun 1998 partai poitik di Indonesia belum mampu menghadirkan wajah-wajah baru yang mampu dan dikenal masyarakat untuk memimpin.

Kegagalan proses regenerasi tersebutlah yang menjadi alasan utama partai politik untuk merekrut para para artis. Dalam jangka panjang tentu saja ini tidak sehat dalam proses pembelajaran politik karena kebijakan-kebijakan yang diambil akan cenderung pragmatis dan sekedar memenuhi kepentingan sesaat.

Selain itu kehadiran para artis ini boleh jadi mengindikasikan resistensi partai politik untuk berubah. Kehadiran artis tidak lebih hanya menjadi pendulang suara sementara posisi elit partai tetap dipegang oleh politisi-politisi senior yang tidak ingin tergantikan. Sehingga, kebijakan yang diambil tentu saja ditentukan oleh politisi-politisi senior tersebut bukan para artis yang masyarakat pilih.

Hal ini tentu saja tidak kalah membahayakan karena dalam proses pembangunan pemerintahan yang bersih kehadiran darah-darah muda amat penting dalam menghadapi berbagai tantangan yang semakin meningkat. Sebagai pemilih masyarakat perlu mencermati hal ini dan mendorong partai politik untuk melakukan proses regenerasi.

Cara termudah untuk itu adalah dengan tidak memilihnya dalam berbagai pemilihan yang akan diselenggarakan. Karena, jika fenomena ini terus berlangsung maka Indonesia akan terus tertinggal dan sulit bangkit dari keterpurukkannya.

artikel ini dimuat di detik.com