Diskriminasi

Menjelang perayaan Imlek beberapa hari lagi, saya jadi teringat peristiwa diskriminatif yang pernah saya alami. Tentunya teman-teman masih ingat pada tahun 1960an dan tragedi Mei 1998 saat terjadi krisis dan rusuh besar-besaran khususnya di Jakarta. Pada saat itu banyak warga etnis Cina yang menjadi sasaran kerusuhan. Hendrawan, pahlawan Piala Thomas Indonesia, juga pernah mengalami peristiwa diskriminatif saat ingin menjadi ingin diakui menjadi WNI karena dia keturunan Tionghoa.

Sebelum berlanjut lebih jauh saya informasikan bahwa saya tidak punya darah Tionghoa tetapi bentuk mata yang Allah karuniakan ini agaknya membuat sebagian orang menganggap saya Chinese. Berikut ini adalah peristiwa diskriminatif yang pernah saya alami karena disangka orang Chinese. Namun, diskriminasi yang saya alami ini sedikit banyak justru menguntungkan diri saya.

Peristiwa itu berawal pada suatu pagi di Asrama PPSDMS NF Bogor. Saya menerima telepon dari seorang pria di ujung telepon yang mengaku dari KBRI. Sebagai informasi untuk Anda bahwa sepekan sebelumnya saya sudah mendaftarkan diri untuk membuat paspor dan hari itu adalah hari untuk foto dan wawancara. Pria di ujung telepon itu berkata,”Mas, nanti begitu sampai kantor imigrasi langsung saja ke front office ya”. Spontan saya jawab,”Iya, Pak”.

Satu jam berikutnya saya sudah di depan kantor imigrasi Bogor. Agus, adik kelasku, sudah duduk di kursi antrian panggil foto dan wawancara. Tanpa banyak menunda saya langsung ke front office. Setelah memperkenalkan diri dan menceritakan apa yang dikatakan penelepon tadi pagi, petugas imigrasi itu mempersilahkan saya duduk dan meminta saya mengantri sebagaimana halnya pengantri sebelumnya.
Dalam hatiku juga merasa tidak masalah kalau harus mengantri dan mengapa saya langsung ke front office semata-mata menyampaikan pesan Bapak di ujung telepon tadi pagi.

Aku pun duduk di sebelah Agus. Selama menunggu itu saya melihat beberapa orang etnis Cina dipersilakan masuk tanpa mengantri untuk foto dan wawancara. Setelah beberapa orang dipanggil, akhirnya namaku disebut. Sebenarnya saat itu rada bingung juga sih kenapa namaku dipanggil lebih dulu padahal Agus yang datang lebih dulu belum juga dipanggil.

Saat aku kembali ke front office Bapak yang berbeda yang melayaniku. Bapak itu langsung berkata,”Mas, tadi begitu sampai di sini kenapa gak langsung ke meja ini aja?”. “Tadi saya sudah ke sini Pak, tapi tadi saya langsung disuruh duduk lagi” jawabku padanya. Tanpa ba bi bu Bapak tadi langsung menegur dan sedikit memarahi rekan kerjanya karena menyuruhku untuk duduk. Setelah itu saya dipersilakan untuk langsung masuk ke ruang foto dan wawancara. Selesai dengan urusan foto dan wawancara saya keluar dan kembali duduk di sebelah Agus. Setelah menemaninya beberapa waktu saya akhirnya pulang karena dia tak juga kunjung dipanggil.

Berangkat dari pengamatanku, saya mendapat giliran untuk masuk lebih dulu boleh jadi karena saya terlihat seperti warga etnis Cina. Walau sampai saat ini saya tidak pernah tahu alasan apa sebenarnya. Namun, terlepas dari apapun perbuatan diskriminatif adalah hal yang tidak terpuji dan tidak perlu dicontoh. Wallahu ‘alam.