Bukan rahasia umum jika saat ini kegiatan gayus menggayus tidak saja terjadi pada sektor ekonomi dan hukum tetapi juga pada media massa. Bahkan hal ini sudah terjadi sejak berpuluh tahun lalu. Salah seorang orang tua kawanku pernah bicara tentang ini. Ia pernah disangka wartawan amplop saat meliput di suatu daerah. Hal itu masih menjadi sekedar menjadi omongan dan cerita bagiku hingga akhirnya aku mengalaminya sendiri.
Peristiwa ini terjadi pada saat aku berada di tingkat 2 saat masih berkuliah. Saat teman-temanku sibuk ikut kuliah semester pendek aku menyibukkan diri menjadi reporter sebuah majalah pertanian berskala nasional. Saat itu usiaku masih 20 tahun. Aku bisa bekerja di sana berkat rekomendasi seniorku di Koran Kampus yang merekomendasikan 3 orang di antara pengurus lainnya. Dua orang reporter dan satu fotografer.
Selama dua bulan kami ditugaskan untuk mengisi berbagai liputan di majalah itu, mulai dari kuliner, berita pasar, produk baru, hingga ke liputan utama. Kami berkeliling Bogor-Jakarta. Pasar Induk Cipinang dan Kramat Jati, Balai Kehutanan, Faperta IPB, hingga menjumpai tokoh pertanian dan LSM yang peduli akan produksi dalam negeri. Sepanjang liputan kami tidak pernah ada masalah hingga akhirnya kami masuk pada liputan utama yang kala itu mengangkat tema kampanye penggunaan produk dalam negeri.
Terdapat dua narasumber utama yang kami hubungi untuk membuat tulisan itu. Kami berangkat ke Jakarta, tepatnya Menara Bidakara. Di sana kami menemui salah satu tokoh pengayom petani. Kira-kira satu jam sebelum wawancara dimulai kami sudah berada di sana. Aku dan partnerku, Palestina Santana naik ke lantai tempat kantor narasumber itu berada. Sesampainya di lantai tersebut Pales mengonfirmasi keberadaan narasumber. Nampaknya dia begitu sibuk sehingga kami perlu menunggu lebih lama. Sembari kami menunggu orang-orang di ruang tunggu banyak berbicara satu sama lain. Terkadang sekuriti masuk dan berbicara dengan resepsionis. Salah satu potongan percakapan mereka yang kuingat adalah sekuriti memberi tahu bahwa beberapa mobil keluar kantor dan mereka menyebut nama sebuah partai baru yang saat itu santer beriklan di TV. Hal itu menimbulkan tanya pada diriku. Aku datang ke pengurus pengayom petani atau ke kantor partai politik.
Tak lama kemudian kami dipersilakan masuk ke dalam ruangan narasumber. Kami mulai keluarkan rekorder dan daftar pertanyaan yang sudah kami buat. Percakapan begitu hangat dan seru. Narasumber mulai membahas reforma agraria, mengkritik pemerintahan dan menyinggung buku yang baru saja ditulisnya. Dia juga sempat menyindir beberapa tokoh yang menurutnya berbuat salah. Percakapan itu cukup membuat kita bersemangat sebagai mahasiswa. Setelah lebih dari satu jam kami berbincang, narasumber itu memberikan kepada kami masing-masing satu buah buku yang baru ditulisnya. Kami pun mohon diri. Sebelum kami sampai ke depan pintu, orang itu memanggil kami dan membuka dompetnya. Terlihat jelas olehku beberapa lembar berwarna merah di dompetnya. Ia mengambilnya beberapa dan memberikan kepadaku. “Ini mas buat ongkos.” ucapnya. Tak kusangka peristiwa itu pun terjadi padaku. Dengan sopan aku menjawab, “tidak usah Pak. Kami sudah mendapat uang transport dari kantor”. Ia berusaha meyakinkan kami untuk mengambil uang tersebut, tetapi kami satu kata: Tidak. Akhirnya kami keluar dari ruangan itu dengan pengalaman baru. Just to say : NO.
Sepulang dari lokasi tersebut kami melanjutkan perjalanan ke lokasi berikutnya. Hari sudah siang saat itu. Kami menuju daerah Cililitan untuk mewawancarai sebuah LSM yang peduli akan produk dalam negeri. Kami masuk ke sebuag gedung yang serupa seperti sekolah atau universitas swasta. Mereka menjamu kami dalam sebuah ruang sekretariat yang pada salah satu sisinya dipasangi spanduk besar LSM tersebut. Mereka banyak berbicara ini dan itu dan begitu idealis. Menurut mereka diperlukan gerakan masyarakat untuk terus menggunakan produksi dalam negeri. Hal ini akan menimbulkan tarikan pasar yang dapat mendorong industri di tanah air. Ruang itu menjadi semakin hangat ketika beberapa orang pengurus lainnya memasuki ruangan tersebut. Mereka masing-masing mengutarakan pendapatnya.
Menjelang sore hari kami undur diri. Setelah berfoto bersama kami keluar dari ruangan itu. Seorang, di antara mereka mengantar kami hingga depan pintu gedung. Dia menyalami kami satu per satu. Tak kusangka saat ia hendak menyalamiku ia mengambil sebuah amplop dari saku kemejanya dan menjabat tanganku beserta amplop tersebut. Dia melepasnya. Jadilah amplop itu berpindah ke tanganku. Aku menolaknya. Ke kembalikan amplop itu padanya tetapi ia juga menolak untuk menerimanya kembali. Dia kemudian berniat menambah sejumlah uang dari dompetnya, mungkin dia berpikir bahwa kami menolak karena amplopnya kurang tebal. Aku yakinkan padanya bahwa kami menolak bukan karena itu, tapi karena kami tidak mau melanggar kode etik. Dia tetap menolak. Akhirnya ku ambil amplop itu lalu keberanikan diri untuk memasukkan amplop tersebut kembali ke saku kemejanya. Jadilah ia diam tak berkutik. Lalu kami bergegas pergi.
Sambil mencari warung makan, kami bertiga membahas pengalaman kami hari itu. Rasanya masih panas benar tangan ku menolak amplop tersebut. Kami tidak menduga bahwa LSM yang terdengar begitu idealis bisa melakukan hal yang sama dengan politisi dan pelaku birokrasi lain yang selama ini terkenal kotor. Kami akhirnya pulang dengan sebuah cerita baru yang pasti takkan kami lupakan. Menjaga idealisme adalah tantangan bukan sekedar teori atau retorika.
wah gimana yah…kalo gw nantinya? sedot sana-sini