Kohabitasi Bukan Solusi


Hidup berpasangan memang menjadi fitrah manusia. Banyak riset yang telah membuktikan bahwa pernikahan sebagai wadah legal kehidupan bersama berdampak positif bagi kehidupan seseorang baik secara fisik maupun psikologis 1). Namun, untuk sebagian orang pernikahan menjadi sebuah wadah alternatif saja untuk hidup berpasangan dengan berbagai alasan tentunya. Mereka hidup berpasangan dalam satu tempat tinggal tanpa adanya ikatan pernikahan yang umum dikenal sebagai kohabitasi. Sebagian dari mereka terus menerus menjalani kehidupan bersama tanpa adanya ikatan tetapi sebagian yang lain menggunakan kohabitasi sebagai metode persiapan diri sebelum masuk ke jenjang pernikahan yang lebih serius dan penuh dengan tanggung jawab. Mereka khawatir gagal dalam membina rumah tangga dan menjadikan kohabitasi sebagai cara untuk menghindari perceraian. Pertanyaannya bagiku adalah apakah kohabitasi tersebut menjadi solusi yang benar-benar relevan?

Saya sendiri pernah menyaksikan pasangan muda yang menjalani kohabitasi. Saat itu saya masih berkuliah di Ohio University pada tahun 2010 yang lalu. Selama berkuliah di sana saya dan mahasiswa Indonesia lainnya tinggal di asrama kampus bersama dengan mahasiswa Amerika (native American). Saat itu saya tinggal sekamar dengan sebut saja Alex (20) yang berkuliah di mayor olahraga kesehatan. Kami tinggal di sebuah kamar di lantai 2 dengan luas 4 x 4 meter. Fasilitas kamar berupa dua ranjang, dua lemari pakaian, satu kulkas, satu oven microwave, penghangat ruangan, koneksi LAN dan Wifi tak juga membuatnya menghabiskan satu malam pun tinggal di kamar itu. Selama dua bulan saya tinggal di asrama kampus itu Alex tidak pernah tinggal di kamar kami tetapi selalu di kamar kekasihnya, sebut saja Megan (19).

Suatu hari saya pernah dikenalkan dengan Megan di kamarnya yang satu lantai dengan kamar kami tetapi hanya berbeda lorong saja. Saya terkejut saat mengetahui bahwa kamar Megan hanya setengah luasnya dari kamar kami. Hanya terdapat satu ranjang, satu meja, dan satu lemari. Mereka hampir sepanjang waktu menghabiskan waktunya di luar ruang kuliah di dalam kamar itu. Aku tidak membayangkan betapa sumpeknya di sana terlebih lagi dengan barang-barang di ranjang yang berantakan. Di tempat itulah Alex biasa tinggal dan kembali ke kamar kami sekedar mengambil pakaian dan beberapa buku sebelum berangkat kuliah. Demikianlah selama dua bulan aku tinggal di sana.

Ternyata hal seperti itu bukan pengalamanku saja. Beberapa mahasiswa Indonesia lain juga memiliki pengalaman yang serupa walau tidak persis sama. Agaknya kohabitasi semakin jamak di negeri Paman Sam. Hal ini adalah salah satu poin yang diungkapkan oleh artikel di website VOA (29/03/2012) yang berjudul Hidup Bersama Tak Jamin Pernikahan Langgeng. Di dalam artikel itu dikatakan bahwa kohabitasi pada tahun 1960 hanya sebesar 10% saja sedangkan saat ini tingkat kohabitasi sudah mencapai 60% di antara pasangan di Amerika sebelum mereka menikah. Walaupun tingkat kohabitasi semakin tinggi tetapi tingkat perceraian juga tidak bisa dikatakan rendah. Menurut data dari DivorceRate2011.com 2) saat ini sebesar 41% dari pernikahan pertama di Amerika mengalami perceraian. Kemudian sebesar 60% dan 71% pasangan di Amerika bercerai pada pernikahan kedua dan ketiga. Artikel yang dimuat VOA di atas juga mengungkapkan bahwa mereka yang bertunangan dan tinggal satu atap sebelum menikah, kemungkinan pernikahannya bertahan hanya 15 tahun, hal itu sama seperti pasangan yang sebelumnya tidak tinggal satu atap. Data itu menunjukkan bahwa kohabitasi yang digunakan untuk lebih mengenal pasangan sebelum menikah ternyata tidak sepenuhnya efektif mencegah perceraian.

Tingkat kohabitasi di Indonesia mungkin tidak setinggi dibandingkan di Amerika Serikat dan hal tersebut masih dianggap masyarakat sebagai suatu hal yang melanggar norma-norma. Sejauh ini saya belum menemukan seberapa besar tingkat kohabitasi di negera ini. Namun, kita perlu mencermati fenomena hamil di luar nikah yang semakin merebak khususnya di kalangan selebritis Indonesia. Dalam satu tahun mungkin ada sekitar 2-3 selebritis perempuan yang diberitakan hamil sebelum menikah. Sebagian dari mereka justru tidak menikah sampai melahirkan anaknya. Di sisi lain, saat ini juga semakin merebak perceraian di kalangan selebritis. Walau mereka yang bercerai belum tentu yang pernah berkohabitasi sebelumnya tetapi fenomena ini perlu mendapat perhatian karena mereka adalah public figure yang dapat menjadi role model yang buruk bagi masyarakat dan boleh jadi mewakili kondisi masyarakat Indonesia saat ini. Terlebih lagi dewasa ini pergaulan bebas di antara muda-mudi Indonesia semakin marak terjadi yang ditandai dengan berbagai berita mengenai aborsi, video porno, penyimpangan seksual dan lain-lain. Oleh karena itu, praktik pergaulan bebas seperti kohabitasi perlu ditekan dan tidak menjadi solusi akan kekhawatiran kegagalan pernikahan karena tidak mengenal pasangan.

Mengenai tingkat perceraian di Indonesia, Kementerian Agama mencatat bahwa telah terjadi kenaikan tingkat perceraian di Indonesia selama satu dekade terakhir dari sebanyak 20.000 kasus menjadi 200.000 kasus per tahun. Penyebab utama dari peningkatan tersebut adalah semakin independennya perempuan secara ekonomi. Di samping itu arus informasi yang semakin deras mengenai hak-hak perempuan di dalam pernikahan juga mendorong peningkatan tersebut 3). Jika kita kaitkan penyebab utama tersebut dengan kohabitasi sebagai obatnya maka memang tampak jelas bahwa terjadi ketidaksesuaian antara penyakit dan obatnya. Pertanyaannya kemudian adalah jika kohabitasi bukan solusi dalam kelanggengan pernikahan, lalu apa solusinya?

Sebelum menikah tentu kita harus mengenal pasangan kita dan itu tidak harus dengan kohabitasi. Berkunjung kepada keluarganya, bertanya pada teman-teman dekatnya, dan tentunya berkenalan dengan calon pasangan dapat menjadi jalan yang aman. Tidak cukup sampai di sana saja, visi dalam pernikahan juga perlu dibangun. Richard Settersten Jr, yang melakukan riset terhadap pasangan yang telah menikah lebih dari 20 tahun sebagaimana dimuat di artikel VOA di atas mengatakan bahwa komitmen kedua pasangan dalam pernikahan tersebut juga menjadi kunci kelanggengan. Hal ini mengenai mimpi dan keyakinan yang kuat mengenai masa depan pasangan tersebut. Kecukupan secara finansial merupakan hal yang perlu dipersiapkan untuk menunjang kehidupan dan membawa kepada kemandirian. Pada akhirnya kedekatan kita dengan Tuhan secara spiritual juga memegang andil dalam pernikahan karena di dalamnya tidak semata mengenai aktivitas biologis melainkan juga spiritual dan pembangunan aspek nilai dan moral.

Sumber:
1) 6 Manfaat Kesehatan yang Didapat dengan Menikah. http://wolipop.detik.com/read/2011/11/14/173526/1767207/1135/6-manfaat-kesehatan-yang-didapat-dengan-menikah
2) Hidup Bersama Tak Jamin Pernikahan Langgeng. http://www.voaindonesia.com/content/hidup_bersama_tak_jamin_pernikahan_langgeng/110775.html
3) Indonesian divorce rate surges http://news.bbc.co.uk/2/hi/asia-pacific/7869813.stm
4) Gambar 1 http://divorceattorneys.wordpress.com/tag/cohabitation-agreements/
5) Gambar 2 http://womenonthefence.com/2012/04/04/tips-for-co-parenting-after-divorce/

21 thoughts on “Kohabitasi Bukan Solusi

  1. Siti Lutfiyah Azizah says:

    kumpul kebo di Indo masih dianggap tabu, ada batas budaya timur dan agama, tapi coba cek saja gaya hidup mereka yang hedonis, nyaris semuanya sudah seperti itu..

  2. sarah says:

    hm… baru tau namanya kohabitasi.. artikelnya bagus.. pernah juga nonton di FOX channel apa dimana gitu ttg marriage ala orang amrik. Mereka tinggal bersama dulu dengan alasan agar dapat mengenal pasangan masing2.. padahal sih alasan sebenernya yah you know lah. begitu juga yg dialami sama William-Kate. sbg role model dunia, mereka tinggal bersama bertahun2 sblm akhirnya menikah. Apakah ini solusi terbaik? Well, jelaslah nggak kalo bagi orang yg beragama (apapun itu). Intinya saya setuju sama solusi yg disodorkan penulis. Semoga penulis juga mendapatkan jodoh yang terbaik yah :p *lirik seseorang, hahaha*

  3. dpsusanto says:

    Saudara Randy menjelaskan kohabitasi atau yang lebih dikenal di indonesia dengan istilah “kumpul kebo” dengan cerdas, memberikan contoh study kasus dengan pengalamanya saat berada di amerika sehingga pembaca artikel ini menjadi lebih hidup. Kohabitasi bukanlah solusi untuk memperoleh kebahagian. Kebahagiaan sejati akan diraih ketika semuanya telah resmi dan halal baik secara agama maupun norma-norma lain yang berlaku..

  4. Adhirangga says:

    Ini nih gaya hidupnya Angelina Jolie sama Brad Pitt… Bersyukur deh buat kita yang dikasih Iman dan mengenal surga dan neraka…

  5. desni says:

    baca ini jadi merasa beruntung terlahir sebagai muslim, dibesarkan oleh keluarga “timur” yg religius, kuliah di kampus yg super islami seperti IPB, plus punya temen2 yg pemahamannya kayak lo. Alhamdulillah, semoga kita dilindungi Allah dari hal2 yg cuma ngandelin nafsu tapi pura2 pake otak 🙂

  6. Vanny says:

    http://www.thejakartaglobe.com/lovelines/testing-the-waters-the-importance-of-premarital-cohabitation/527306 tadi baca ini trus inget artikelmu ini. Coba baca komen2nya juga deh. Menarik. Mungkin kohabitasi bukan solusi buat mengurangi tingkat perceraian. Tapi kohabitasi bisa mengurangi dampak “sakit hati” yang kita rasakan kalau ternyata suami/istri kita merupakan orang yang jauh berbeda dibanding yang kita bayangkan. Lain di mulut aja bisa lain di hati. Apalagi orang, sifatnya di luar tentu bisa jauh beda dengan sifatnya di rumah. Bener, tanya orang rumah bisa bantu, tapi well, aku yakin pasti beda “tanya” sama “menjalani”.

    Kalau menurutku si, ga ada cara mengurangi perceraian, yang bisa dilakukan cuma meningkatkan komitmen masing2 🙂 Kalau perceraian nambah, mgkn krn dulu, no future for ex-married woman. Cari kerja susah. Sekarang? Drpd menderita seumur hidup krn loveless/abusive marriage, mrk memilih pisah. Toh mrk masih bs financially independent.

    I’m not a supporter of cohabitation. I will never do that either. Tapi bagi mrk yg menjalani, mungkin itu yg mrk butuhkan. After all, it is all because of “what we choose to believe”.

    • pradananusantara says:

      Aku setuju mengenai komitmen. Komitmen itu yang mengikat bagaimana keluarga itu kelak dibina. Komitmen itu pula yang akan menguatkan di saat kita atau pasangan mengetahui the real who we are. Sakit hati itu kemugkinan akan terjadi dan komitmen yang menjadi penguatnya bukan kohabitasi. Jika kohabitasi digunakan sebagai macam test drive gitu betapa rapuhnya menurutku ikatan antara dua manusia itu, Di Amerika sendiri ada masa di era 60-80an yang disebut generasi emas untuk keluarga. Hal itu bisa dilihat dari berbagai film yang keluar pada era itu. Ayah bekerja, ibu di rumah, anak sekolah dst; so traditional. Saat itu tingkat perceraian begitu rendah demikian pula perselingkuhan. Saat ini kita menjumpai 1 anak yang ortunya bercerai dari tiap 4 anak Amerika yang kita temui. Related to this kohabitasi yang kian merebak saat ini menjadi tidak relevan untuk mehgatasi perceraian

Leave a Reply to masbowo Cancel reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s